Sabtu, 21 Maret 2009

Herpes simpleks

PENDAHULUAN

Herpes simpleks (HS) merupakan penyakit menular sexual yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (VHS). Secara klinis terdapat dua bentuk yaitu infeksi di orofasial dan genital. Infeksi di orofasial 85% disebabkan VHS-1 dan 15% sisanya disebabkan VHS-2. infeksi di genital 60-70% dihubungkan dengan infeksi VHS-2 sisanya VHS-1. Perubahan ini mungkin disebabkan perilaku seksual dengan cara oro-genital.1,2,3 Prevalensi antibody HSV meningkat seiring dengan pertambahan usia dan berkaitan dengan status sosio-ekonomi. Antibodi terhadap HSV-2 tidak ditemukan pada pemeriksaan rutin sampai usia pubertas, dan berhubungan dengan aktivitas sexual. Penelitian menunjukkan bahwa antibodi yang sudah ada sebelumnya akan meningkatkan frekwensi infeksi HSV-2 subklinis.(1,4)
Penyebab herpes genital yang paling sering adalah HSV-2, walaupun peningkatan jumlah episode primer pada daerah genital diikuti juga oleh HSV-1. Prevalensi herpes genital oleh karena HSV-1 bervariasi tergantung dan geographis, terhitung hampir setengah dari kasus baru terjadi di beberapa negara Eropa. (2,5,6,7) Infeksi primer HSV-1 pada genital paling sering terjadi pada wanita dan sering bergejala hal ini menimbulkan spekulasi bahwa perbaikan pada status sosial ekonomi, menghambat paparan HSV-1 dan variasi dalam melakukan hubungan seksual, memperjelas peningkatan kontribusi HSV-1 untuk terjadinya infeksi genital pada geographis tertentu. Dengan kata lain, infeksi HSV-1 pada saat remaja akan mencegah infeksi genital oleh HSV-1 pada paparan berikutnya, hal ini memberikan kemungkinan timbulnya gejala subk1inis. (2,4,8,9)
Dilihat dari perbedaan ras ternyata penderita kulit hitam lebih banyak dari kulit putih akibat perbedaan pendidikan dan status ekonomi. Di Amerika pada kurun waktu antara tahun 1988-1994 ada kenaikan sebesar 30% dibandingkan tahun sebelumnya. Dari data yang dikumpulkan oleh WHO dapat ditarik kesimpulan bahwa antibodi terhadap HSV rata-rata baru terbentuk setelah adanya aktivitas sexual pada seseorang. Dimana pada kelompok remaja didapatkan kurang 30%, pada kelompok diatas umur 40 tahun naik sampai 60%, pada pekerja seks wanita ternyata antibodi HSV sepuluh kali lipat daripada orang normal(10)
Infeksi herpes genital dimulai dengan replikasi virus ditempat inokulasi. menghasilkan lesi primer. Virus menyebar secara cepat dan menginfeksi ujung terminal saraf sensoris, diangkut secara retrograde axonal neuron ganglion sensoris regional, menyebabkan infeksi laten. Pada infeksi laten, ekspresi DNA dan gen virus sangat terbatas, dari keseluruhan gen virus biasanya hanya satu yang mengalami transkripsi. Pada episode reaktivitasi, terjadi replikasi diikuti anterograde axonal transport sehingga virus kembali ke perifer atau didekat lokasi infeksi primer.(2,4,10,11,12,13). Bila pada suatu waktu ada faktor pencetus, virus akan mengalami reaktivasi dan multiplikasi kembali sehingga terjadi infeksi rekurens. Interval waktu terjadinya rekurensi bervariasi pada setiap individu.(1,2)
Berbagai obat antivirus seperti asiklovir, valasiklovir, famsiklovir, foskarnet dan sidofovir telah tersedia di pasaran, mekanisme anti virus didapat melalui inhibitor kompetitif dengan DNA polymerase virus.(14,15,16)

KASUS HERPES GENITAL

Seorang wanita, usia 42 tahun, suku makassar, pekerjaan IRT. datang ke RSWS tgl 29-12-08 dengan keluhan sejak 3 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit , badan terasa lemah, awalnya pasien mengeluh gatal pada daerah kemaluan bagian luar, keluhan gatal semakin bertambah dan oleh pasien diberi bedak herosin dan dicuci dengan air panas dan digaruk sampai lecet/luka, setelah hari ke-2 timbul bintik-bintik kecil berisi cairan jernih, terasa sangat nyeri, nyeri seperti terbakar, sehingga pasien sakit pada waktu BAK. Riwayat keputihan (-), demam (-), riwayat melakukan hubungan sexual secara oro-genital dengan suami ( 1 tahun yang lalu, suami pernah mengeluh ada bintik-bintik kecil berisi cairan jernih muncul di daerah sekitar mulut selama 1 minggu, nyeri seperti terbakar di obati ke puskesmas dan sembuh), pasien mempunyai riwayat penyakit gula, riwayat penyakit yang sama sebelumnya (-), riwayat berhubungan sexual dengan suami 1 bulan yang lalu.
Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis, keadaan gizi baik dan tanda-tanda vital dalam batas normal. Terdapat lesi di regio labium major dextra dan sinistra, lesi berupa edema, eritem erosi, ulkus , fluor albus (berwarna putih, konsistensi kental, tidak berbau) pada (gambar 1)
Tanggal 30-12-08 Hasil pemeriksaan laboratorim darah rutin memperlihatkan dalam batas normal. Pemeriksaan gula darah sewaktu 209 mg/dl, gula darah puasa 283 mg/dl, gula darah 2 jam PP 322 mg/dl.
Pemeriksaan laboratorium untuk fluor albus: Whiff tes (-), NaCl (-), KOH (-), gram (-), PH vagina 4, pemeriksaan dalam dengan inspekulo tidak dilakukan karena pasien menolak dengan alasan kesakitan.
Tanggal 4-1-09 pemeriksaan tes serologi VDRL dan TPHA non reaktif dan hasil anti-HSV 1 IgG (+) rasio (3,34), anti-HSV 1 IgM (-), anti- HSV 2 IgG (-), anti-HSV 2 IgM (-)
Pasien dikonsulkan ke bagian interna dan Acc kerja sama pasien didiagnosa dengan diabetes mellitus tipe II dan diterapi dengan diet DM 1500 kkal/hari, actrapid 3x8 iu (SC).
Diagnosis banding ulkus genital: herpes genital, ulkus molle, sindrom behcet. Diagnosis kerjanya herpes genital dan diabetes mellitus tipe II
Terapi yang diberikan asiklovir 200mg 5xsehari, asam mefenamat 500mg 3xsehari, interhistin 2xsehari, ciprofloxacin 500mg 2xsehari. Terapi topikal diberikan permanganas kalikus (PK) 1:10.000 untuk cebok setiap selesai buang air kecil.
Follow-up tanggal 30-12-08 pasien mengeluh takut BAK karena nyeri dan gatal. Pemeriksaan lesi pada regio labium major dextra dan sinistra, lesi berupa edema, eritem,vesikel, erosi, ulkus, fluor albus (berwarna putih, konsistensi kental, tidak berbau), Terapi lanjut.
Follow-up tanggal 1-1-09 sampai tanggal 4-1-2009 keluhan nyeri dan gatal berkurang, pasien sedang menstruasi. Pemeriksaan lesi regio labium major dextra dan sinistra, lesi berupa edema (-), vesikel (-), darah haid (+).Terapi lanjut
Follow-up tanggal 5-1-09 keluhan gatal, pemeriksaan lesi pada regio labium major dextra dan sinistra, lesi berupa edema (-), vesikel(-),fluor albus (-).Terapi interhistin tablet 2x sehari pada (gambar 2).
Follow-up tanggal 6-1-09 keluhan (-) pemeriksaan lesi edema (-), vesikel (-), fluor albus (-), terapi (-) pada (gambar 3a dan 3b)
Pasien boleh pulang tanggal 6-1-09 dan disuruh kontrol ke poli kul-kel, tetapi pasien tidak datang untuk kontrol.


Gambar 1 tgl 29-12-08



Gambar 2 tgl 5-1-09



Gambar 3a tgl 6-1-09 Gambar 3b




DISKUSI

Dinamika infeksi HSV terjadi sedemikian rupa sehingga jumlah total individu terinfeksi akan meningkat. Dengan meningkatnya prevalensi infeksi HSV, maka probabilitas untuk terjadi kontak dengan pasangan yang terinfeksi pun akan meningkat(1,,4) Pasien adalah seorang perempuan, suku makassar, umur 42 tahun, keluhan utama luka pada kemaluan disertai nyeri saat kencing, berdasarkan kepustakaan Perempuan berisiko lebih tinggi untuk mendapatkan herpes genital dari pasangan pria dibanding pria yang mendapatkannya dari pasangan perempuannya(6,7). Diagnosis Herpes genital ditegakkan berdasarkan riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
lnfeksi herpes genital masuk melalui mukosa atau kulit yang luka atau erosi. lnfeksi virus ini dimulai bila sel epitel mukosa genital dan host yang rentan terpajan oleh virus yang terdapat pada lesi atau sekret genital orang yang terinfeksi melalui hubungan seksual langsung(2,8,9). Lesi herpes genital biasanya didahului rasa terbakar dan gatal pada daerah yang terkena beberapa jam (sampai 24 jam) sebelum timbulnya lesi, dan setelah lesi timbul dapat disertai gejala konstitusi seperti malaise, demam dan nyeri pada otot.(10,11,12,13).Vesikel dengan berbagai ukuran biasanya muncul beberapa hari setelah kontak seksual, disertai dengan disuri, keluarnya cairan vagina maupun urethra, cairan serviks biasanya mukoid namun kadang didapatkan cairan yang mukopurulen dan limfadenopati inguinal.(14). pada wanita lesi biasanya terdapat divulva, perineum, bokong, introitus dan meatus uretra, sedangkan pada laki-laki biasanya pada batang atau glans penis. Pada infeksi awal biasanya disertai gejala yang lebih berat dan berlangsung lebih lama. Lesi HSV primer biasanya menyembuh dalam 2-6 minggu.(2,15,16)
Sesuai kepustakaan bahwa herpes genital merupakan manifestasi klinis mayor dari infeksi HSV-2, namun 10-40% kasus dapat terjadi akibat HSV-1 terutama pada penderita dengan riwayat kontak genital-oral(4).
Pada pasien yang terdapat di klinik STI Alberta tahun 1994 dan 1995, seroprevalensi HSV-1 dan dan HSV-2 dalam serum masing-masing adalah 56% dan 19%. Kejadian dan prevalensi infeksi genital HSV-1 terus meningkat secara global, dengan variasi signifikan antar negara(7).
Di Norwegia, sebuah penelitian terbaru menemukan 90% infeksi awal genital disebabkan oleh HSV-1.Di NovaScotia, 58,1% dari 1.790 isolat HSV dari kultur-kultur lesi genital pada wanita adalah HSV-2 pada pria,36,7% dari 468 isolat adalah HSV-1(7).
Sebagian besar survei, kira-kira 50% orang yang datang dengan episode pertama herpes simtomatik, ternyata baru pertama kali terinfeksi HSV-1 atau HSV-2. sebagian besar orang dengan episode pertama non-primer herpes genitalis terbukti melalui pemeriksaan serologik telah mendapat infeksi HSV-1; jarang didapatkan pada seorang yang pernah terinfeksi HSV-2 sebelumnya kemudian akan terinfeksi HSV-1. kira-kira 25% orang dengan episode pertama herpes genitalis simtomatik secara klinis telah menunjukkan hasil serologik HSV-2 positif, menandakan bahwa mereka telah terifeksi HSV-2 dimasa lampau namun asimtomatik(4,5).
Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan tes Tzank pada vesikel karena pasien menolak dengan alasan kesakitan. Dari kepustakaan dikatakan bahwa pemeriksaan tes Tzank mempunyai sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan umumnya rendah dan hasil pemeriksaan tes Tzank informatif tetapi tidak definitif karena tidak spesifik HSV(14,15,28). Pemeriksaan yang paling baik adalah dengan melakukan kultur jaringan, karena paling sensitif dan spesifik. Bila titer virus dalam spesimen cukup tinggi, maka hasil positif dapat dilihat dalam jangka waktu 24-48 jam(13,17).
Pada infeksi HSV primer, antibodi-antibodi IgM biasanya bisa dideteksi satu pekan setelah onset gejala dan turun ke level yang tidak dapat dideteksi setelah dua bulan. Pendeteksian IgG anti-HSV biasanya dilakukan dua pekan setelah onset infeksi dan antibodi-antibodi IgG tetap ada dalam berbagai kadar selama masa hidup(18)
Diagnosis banding herpes genital pada pasien ini disingkirkan berdasarkan gambaran klinis, Pada ulkus molle keluhan berupa nyeri pada saat buang air kecil, perdarahan perektal, ulkus sangat nyeri, tidak ada gejala prodromal sebelum timbul ulkus. Sifat ulkus khas adanya papul lunak, ulkus multipel, tidak ditemukan adanya vesikelpada tiap tingkat perjalanan penyakit, pinggir ulkus tidak teratur dan bergaung, dasar ulkus ditutupi jaringan nekrotik dan eksudat yang berwarna abu-abu kekuningan diatas jaringan granulasi yang mudah berdarah(19,20)
Sindrom behcet adalah suatu penyakit inflamasi kronik dan rekuren, dengan gejala berupa oral aphthae, ulkus genital dan uveitis pada mata. Penyebab sebelumnya terserang tonsilitis atau infeksi gigi, dan ditemukan fokus-fokus infeksi kronik yang mengandung bakteri streptokokus. Penulis lain berpendapat bahwa yang berperan pada penyakit ini kemungkinan faktor genetik. Gambaran klinis lain merupakan kriteria minor adalah artritis, tromboflebitis, kelainan neurologi(21,22).
Pada kasus ini pasien diterapi dengan obat anti virus yaitu acyclovir 200mg 5x sehari diminum selama 7 hari dan memberikan hasil yang cukup baik sampai pasien pulang ke rumah.
Sejumlah kepustakaan mengatakan bahwa Rejimen antivirus yang direkomendasikan untuk episode klinis pertama adalah acyclovir 400mg peroral 3x sehari selama 7-10 hari atau 200mg peroral 5xsehari selama 7-10 hari, atau famciclovir 250mg peroral 3xsehari selama 7- 10 hari, atau dapat juga diberikan valacyclovir 1gr peroral 2xsehari selama 7-10 hari. Pengobatan dapat diperpanjang jika penyembuhan belum sempurna setelah 10 hari pengobatan atau sampai les menyembuh. Acyclovir merupakan obat antivirus yang spesifik terhadap virus herpes, dimana di dalam sel hospes difosforilasikan oleh enzim kinase virus menghasiikan acyclovir trifosfat yang menghambat sintesis DNA virus. (2,23,24)
Beberapa penelitian dengan kontrol random menunjukkan bahwa untuk episode pertama infeksi HSV genital, maka aciclovir, famcyclovir dan valacyclovir mempercepat kesembuhan dan resolusi symptom serta menurunkan pertumbuhan virus. Ketika dibandingkan dengan placebo, maka aciclovir menurunkan masa kesembuhan dari 16 menjadi 12 hari, durasi rasa sakit dari 7 hari menjadi 5 hari, serta durasi symptom konstitusional dari 6 menjadi 3 hari. Valacyclovir telah dibandingkan dengan aciclovir pada penanganan episode primer dan menunjukkan suatu ekuivalensi(14).
Pada studi yang dilakukan Kinghorn et aI* pada tahun 1986, telah membuktikan bahwa acyclovir 200 mg lima kali sehari per oral ditambah kotrimoxasol (160 mg trimetoprim dan 800 mg sulfametoksasol) dua kali sehari selama 7 hari memperpendek waktu penyembuhan lest secara bermakna dibandingkan dengan pengobatan acyclovir saja. (13)
Pada kasus ini diberikan pengobatan non spesifik berupa perawatan luka dengan PK 1:10.000, analgetik (asam mefenamat) serta antibiotik ciprofloxacin, antihistamin interhistin, semua ini merupakan tindakan untuk meringankan gejala, seperti menggunakan kompres dingin, merendam dengan salin atau permanganas kalikus (PK) pada daerah terkena yang berguna untuk menyejukkan. Menjaga lesi tetap bersih dan kering akan membantu mengurangi resiko terjadinya superinfeksi.(27) .
Pasien diberikan edukasi bahwa penyakit ini dalam keadaan tertentu akan mengalami rekurensi karena virus teap ada dalam tubuh, dianjurkan perlu pemakaian kondom pada waktu melakukan kontak sexual dengan pasangan

DAFTAR PUSTAKA

1. Marques AR. Straus SE. Herpes Simplex. In Irwin M. Freedberg M. Arthur Z. Eisen M, Klaus Wolff M. FRCP. K. Frank Austen M. Lowell A. Goldsmith M. Stephen I. Katz M. PhD. editors. Fitzpatricks Dermatology in general medicine 6ed. New York: McGraw-Hill: 2003. p. 2059-70.
2. Corey L. Wald A. Genital Herpes. In: Holmes KK. Mardh P-A. Sparling PF. Lemon Sm. Stamm WE, Piot P. et aL editors. Sexually transmitted dissease 3 ed. New York: McGraw-Hill Health Professions Division: 1999.
3. Saenong RH. Djawad k. Amiri S. Herpes Genitalis. In: Amiruddin MD. editor. Penyakit Menular Seksual. 1st ed. Makassar PT LKiS Pelangi aksara: 2004. p.179-98
4. Makes WIB. Herpes genitalis pada pasien imunokompeten. In: Daili SF. Makes WIB. editors Infeksi Virus Herpes. U ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 2002. p. 74-88.
5. Kimberlin DW. Rouse DJ. Genital Herpes. [Online] 2004 May 6 [cited 2008 Feb 251: Available from: http :/www.nejm.org.
6. Syphilis. Herpes Simplex Virus, and Other Infections Causing Genital Ulceration, in: Clutterbuck D. editor. Specialist Training in Sexually Transmitted Infections and HIV. 1 ed. Edinburgh: Elsevier Mosby: 2004 p. 139-48.
7. Schmid PS. Genital herpes simplex virus (HSV) infections {on line} 2008 jan 01
{cited 2009 feb 20}; available from: http :/www.google.com.
8. Workowski KA. Berman SM. Genital 1-ISV Infections. In: Lindergren ML. Shaw RE. Hewitt SM. Rutledge TF. McGee PA. Holland BJ. editors. Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidlines.2006. Atlanta: CDC Morbidity and MortaliP Weekl Report: 2006. p. 16-20.
9. Looker JK, Garnett PG. An estimate of the global prevalence and incideceof herpes simplex virus tipe 2 infection Buletin of the world health oganisation [online] 2008 may 30 [cited 2009 feb .20] ; available from: http :/www.google.com.
10. Murtiastutik.D.Herpes Simpleks Gemitalis in : infeksi menular seksual Editors Barakbah.J,lumintang.H, Martodiharjo,s. 1st ed, Surabaya, airlangga University press,2008.P.149-57.
11. Cowan F. Genital ulcer disease. In: Adler M. Cowan F. French P. Mitchell H. Richens J. editors. ABC of sexually transmitted infections. 5 ed London: BMJ book: 2004. p. 45-8.
12. Stalkup JR. Yeung-Yue K. Brentjens M. tyring SK. Human Herpesviruses. In: Bolognia JL. Jorizzo JL. Rapini RP. editors. Dermatology 1st ed. Edinburgh: Mosb: 2003. p. 1235-40.
13. Daili sf, Judanarso .J. Herpes Gemitalis, in; Daili sf, Makes WI, editors, infeksi menular seksual. 3rd ed. Jakarta, Balai penerbit FKUI, 2007.P.125-136.
14. Fatahzadeh M. Schwartz RA. Human herpes simplex virus infections: Epiderniolog. pathogenesis. symptomatolog. diagnosis. and management. J Am Acad Dermatol 2007 November:5 7(5) :737-63.
15. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fizpatrick’s color atlas and synopsis ofclinical dermatology. 5 ed. New York: McGraw-Hill; 2005.
16. James WM. Straus SE. Viral diseases. In Irwin M.editors. Andrews Disease of The skin Clinical Dermatology. 10 ed. Canada:Elsevier;2006
17. Ibrahim F. Perneriksaan laboratorium infeksi virus herpes. In: Daili SF, Makes WI, editors. lnfeksi virus herpes. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002. p. 34-61.
18. Haskins.C. HSV ½ Antibody testing. New York; Laboratory Alliance; 2008.
19. Lautenschlager.S. Chancroid in:Irwin.M,Freedberg.M,Arthur.Z,Eisen.M, Klaus Wolff M. FRCP. K. Frank Austen M. Lowell A. Goldsmith M. Stephen I. Katz M. PhD. editors. Fitzpatricks Dermatology in general medicine 6 ed. New York: McGraw-Hill: 2003. p. 1983-86
20. Murtiastutik.D. Ulkus Molle in : infeksi menular seksual Editors Barakbah.J,lumintang.H, Martodiharjo,s. 1ed, Surabaya, airlangga University press,2008.P.127-35
21. Bramono K, kosal.A. Syndrom behcets , Cermin dunia berkala kedokteran no. 87: Jakarta. 2001.
22. Zouboulis CC. adamantiades-behcet disease In Irwin M. Freedberg M. Arthur Z. Eisen M, Klaus Wolff M. FRCP. K. Frank Austen M. Lowell A. Goldsmith M. Stephen I. Katz M. PhD. editors. Fitzpatricks Dermatology in general medicine 6th ed. New York: McGraw-Hill: 2003. p. 1620-26
23. Mochtar A. Farmakologi obat anti virus. In: Daili SF, Makes WI, editors. Infeksi virus herpes. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002. p. 283-96.
24. Evans TY, Straten MRV, Carrasco DA, Canton S, Tyring SK. Systemic antiviral agents. In: Wolverton SE, editor. Comprehensive dermatologic drug therapy Philadelphia: WB Saunders company; 2001. p. 85-1 08.
25. Jawetz.E.MD. Kemoterapi antivirus dan provilaksis in : katzung GB, editor. Farmakologi dasar dan klinik 4rd ed san fransisco ;EGC; 1998.P.760-67.
26. Goodman and Gilmans. Anti Herpes Virus Agents. The Farmakological Basic of Therapeutics. 10ed.2001.p.1315-28.
27. Torres G. Herpes Symplex . (online) 2007 jun (cited 2008 feb 25); Available from: http;//www.emedicine.com.

Jumat, 20 Maret 2009

PSORIASIS

PSORIASIS

EPIDEMIOLOGI
Prevalensi
Psoriasis terdapat di seluruh dunia. Prevalensinya berbeda pada setiap populasi, bervariasi dari 0,8-11,8% tergantung dari laporan yang dipublikasikan. Dilaporkan ada insiden tertinggi di Eropa, yaitu di Denmark (2,9%), dan Kepulauan Faroe (2,8%), dengan rata-rata sekitar 2% di Eropa Utara. Di Amerika prevalensi bervariasi dari 2,2-2,6%, kira-kira 150.000 kasus baru didiagnosa setiap tahunnya. Prevalensi psoriasis di Afrika bagian Timur lebih tinggi dari Afrika bagian Barat menjelaskan rendahnya prevalensi psoriasis pada ras AfroAmerika (1,3% melawan 2,5% dibanding ras kulit putih). Isiden psoriasis juga rendah di Asia (0,4%), dan tidak terdapat satu kasus pun pada pemeriksaan 26.000 orang India di Amerika Utara.

Onset Usia
Psoriasis dapat muncul pada usia berapa pun, tapi jarang terjadi pada usia di bawah 10 tahun. Lebih sering terjadi pada usia 15-30 tahun. Adanya keterlibatan antigen HLA kelas I terutama HLACw6, berhubungan dengan onset usia muda, dan keterlibatan riwayat dalam keluarga. Penemuan ini membuat Henseler dan Christopher membagi psoriasis menjadi 2 bentuk: tipe I, usia di bawah 40 tahun dan berhubungan dengan HLA, tipe II, usia di atas 40 tahun dan kurang berhubungan dengan HLA, walaupun banyak pasien yang tidak cocok dengan klasifikasi ini. Tidak ada eviden yang menyatakan bahwa psoriasis tipe I dan tipe II berespon berbeda pada terapi yang berbeda.

• Mengenai kira-kira 2% penduduk Amerika, prevalensi psoriasis bervariasi dari 0,1-3% dari tiap-tiap populasi.
• Psoriasis merupakan penyakit poligenik dengan predisposisi bermacam-macam disertai faktor pencetus dari lingkungan, seperti trauma, infeksi, dan obat-obatan.
• Manifestasi papul eritema bersisik dan plak, pustular, dan eritrodermi.
• Predileksi tempat pada scalp, siku dan lutut, tangan dan kaki, batang tubuh, serta kuku.
• Psoriatik artritis dapat timbul pada 10-20% pasien psoriasis, pada bentuk pustular dan eritrodermi dapat muncul demam.
• Patologi psoriasis berupa elongasi rete ridge, dilatasi pembuluh darah, penebalan lempeng suprapapiler, dan parakeratosis. Infiltrasi limfosit di epidermal dan dermal, dengan agregasi neutrfil di epidermis.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Psoriasis merupakan sebuah penyakit kulit inflamasi kronis yang memiliki hubungan kuat dengan faktor genetik, ditandai dengan perubahan kompleks pada pertumbuhan dan diferensiasi epidermal dan berbagai abnormalitas biokimiawi, imunologi, dan vaskular, serta hubungannya dengan fungsi sistem saraf pusat belum dipahami dengan baik. Penyebab pokoknya masih belum jelas. Secara historis, psoriasis dianggap sebagai gangguan utama pada keratinosit. Dengan penemuan bahwa imunosupresan yang spesifik sel-T, yakni siklosporin A (CsA), sangat aktif terhadap psoriasis, maka kebanyakan peneliti berfokus pada sistem imun dalam menyelidiki penyakit ini.

Genetika Psoriasis
Dasar genetik psoriasis telah disebutkan selama hampir 100 tahun. Akan tetapi, seperti yang disebutkan Gunnar Lomholt di tahun 1963 dalam penelitian klasiknya terhadap psoriasis di Kepulauan Faeroe, “bahwa psoriasis ditimbulkan secara genetik masih mengandung banyak keraguan, tetapi karena proses pewarisan banyak ditunjukkan pada penyakit ini, maka faktor genetik tetap dipertimbangkan.” Dari tahun ke tahun, berdasarkan beberapa survei yang dilakukan terhadap populasi dan silsilah keluarga yang sangat besar, telah diusulkan beberapa model tentang dasar genetika psoriasis yang mencakup model resesif gen-tunggal, resesif dua-gen, dominan dengan rasuk genetik yang berkurang, dan model poligenik. Analisis penelitian berbasis populasi yang dilakukan oleh Lomholt dan Hellgren dengan analisis risiko rekurensi menunjukkan bahwa nilai λr – 1 (risiko rekurensi lebih untuk kerabat dari keturunan r) berkurang dengan faktor 6 sampai 7 pada saat r meningkat dari 1 menjadi 2, yang berlawanan dengan pengurangan faktor 2 yang diperkirakan pada penyakit-penyakit monogenik. Analisis ini lebih mendukung model poligenik dibanding model lainnya untuk dasar genetika psoriasis. Berdasarkan penelitian-penelitian berbasis populasi, resiko psoriasis pada sebuah keturunan diperkirakan sebesar 41% jika kedua orang tuanya terkena, 14% jika salah satu orang tua terkena, dan 6% jika salah satu saudara kandung terkena, dan hanya 2% jika tidak ada orang tua atau saudara kandung yang terkena.
Resiko psoriasis pada kembar monozigot berkisar antara 35 sampai 73% pada beberapa penelitian. Ketidaksamaan ini, dan fakta bahwa risiko tersebut tidak mendekati 100%, mendukung adanya peranan faktor lingkungan. Menariknya, kesamaan resiko psoriasis pada kembar monozigot dan dizigot berkurang semakin ke daerah garis katulistiwa (daerah tropis dan subtropis). Dengan ditemukannya efek terapeutik yang sangat kuat dari sinar ultraviolet (UV) terhadap psoriasis, diduga keterpaparan sinar UV bisa menjadi faktor lingkungan utama yang berinteraksi dengan faktor-faktor genetik pada psoriasis.
Penelitian untuk mencari keterlibatan gen-gen spesifik dalam psoriasis telah mulai dilakukan sejak sekitar 10 tahun yang lalu dengan penelitian rangkai genetik (genetik linkage) (yakni pewarisan alel penanda dan alel penyakit dalam keluarga).
Akan tetapi, meskipun telah ada penelitian-penelitian rangkai genome-wide yang dilakukan, namun hanya satu lokus, disebut PSORS1 (psoriasis susceptibility 1), yang secara konsisten ditemukan. PSORS1 terletak dalam kompleks histokompatibilitas utama (MHC, kromosom 6p21.3, tempat tinggal gen HLA). Banyak alel HLA yang ditemukan terkait dengan psoriasis, khususnya HLA-B13, HLA-B37, HLA-B46, HLA-B57, HLA-Cw1, HLA-Cw6, HLA-DR7, dan HLA-DQ9. Banyak dari alel ini yang memiliki rangkaian (linkage) tidak seimbang dengan HLA-Cw6 (yakni ditemukan pada kromosom yang sama lebih sering dibanding yang diprediksikan terjadi secara kebetulan). HLA-Cw6 secara konsisten menunjukkan risiko paling tinggi untuk psoriasis pada populasi Kaukasoid (ras kulit putih di Eropa).
HLA-Cw6 juga terkait dengan artritis psoriatik, dengan kecenderungan onset lesi kulit pada tahap awal. HLA-B27, HLA-B38, dan HLA B-39 juga terkait dengan artritis psoriatik, dimana HLA-B27 paling kuat korelasinya dengan yang terjadi pada bagian kepala dan trunkus.
HLA-Cw6 tetap erat kaitannya dengan psoriasis apabila ditemukan bersama dengan beberapa alel HLA-B berbeda, sehingga menunjukkan bahwa gen PSORS1 harus terdapat pada bagian telomer (segmen ujung) HLA-B (Gbr. 18-1).

Gambar (18.1) Merupakan peta MHC dan psoriasis susceptibility (PSORS1). Panel bagian atas memperlihatkan keseluruhan MHC; hanya beberapa dari 200 gen terdapat pada gambar ini. Panel bagian bawah meliputi gen PSORS1 yang ditemukan oleh beberapa peneliti. 10 gen tersebut terbentang dari HLA-C sampai STG pada ikatan genome yang kuat, dan setiap gen ini berhubungan dengan psoriasis. Dari semua ini, hanya HLA-C dan CDSN yang mempunyai varian protein (missense) terhadap halotipe psoriasis (HLA-Cw6 dan CDSN*TTC), dan pada sample dari 76 halotipe alele yang terpisah satu sama lain, hanya haplotipe HLA-Cw6 yang membawa resiko psoriasis.
Hanya sekitar 10% karier HLA-Cw6 yang mengalami psoriasis, dan telah diperkirakan bahwa PSORS1 mewakili hanya sepertiga sampai seperdua dari variasi liabilitas genetik terhadap psoriasis. Dengan demikian, sangat mungkin bahwa gen non-MHC lain juga terlibat. Disamping PSORS1, penelitian rangkai genetik (genetic linkage) telah mengidentifikasi 18 lokus kerentanan yang potensial. Akan tetapi, banyak dari lokus ini yang terbukti sulit bereplikasi. Setelah PSORS1, lokus kerentanan psoriasis kedua yang mampu bereplikasi adalah PSORS2 (17q24-q25), dengan empat penelitian independen yang memberikan bukti mendukung (p<0,01). Telah dilaporkan baru-baru ini bahwa lokus ini berkontribusi bagi psoriasis dengan mempengaruhi ekspresi gen SLC9A3R1, NAT1, dan/atau RAPTCR yang terlibat dalam regulasi imunologi, namun ada beberapa penelitian yang tidak dapat membuktikan temuan ini. Lokus-lokus lain yang menunjukkan bukti replikasi mencakup PSORS4 (1c21.3), PSORS5 (3q21), PSORS8 (16q21-q13)a, dan PSORS9 (4q28-q31), dan PSORS9 (4q28-q31). PSORS4 menetap dalam kompleks diferensiasi epidermal, yang merupakan lokasi dari sekurang-kurangnya 58 gen yang terlibat dalam diferensiasi epidermal, termasuk loricrin, involucrin, filagirin, daerah yang kaya prolin kecil, S100, dan gen-gen penutup. Lokus PSORS5 pertama kali ditemukan terkait dengan psoriasis pada keluarga-keluarga di Swedia; bukti untuk replikasi didasarkan pada dua penelitian korelasi. Lokus PSORS8 timpang tindih dengan gen kerentanan untuk penyakit Chron (NOD2/CARD15) dan berdampak pada artriris psoriatik. Lokus PSORS9 pertama kali diidentifikasi pada sebuah populasi Cina, tetapi juga memberikan bukti untuk rangkai (linkage) pada empat rangkai genome-wide lainnya yang melibatkan sebagian besar populasi Kaukasoid (ras kulit putih di Eropa).

Patogenesis Psoriasis
Perkembangan lesi
Hubungan sebab akibat berbagai peristiwa seluler pada sebuah lesi psoriasis dapat diteliti dengan menggunakan mikroskop elektron cahaya, imunohistokimia, dan studi-studi molekuler terhadap kulit yang terlibat dan tidak terlibat, baik yang baru muncul maupun lesi psoriasis lama. Peristiwa-peristiwa seluler ini ditunjukkan pada Gambar 18-2 dan dengan fotomikrograf ril pada Gbr. 18-3.









Gambar 18-2. Perkembangan lesi psoriasis. Gambar ini melukiskan keadaan transisi dari kulit normal menjadi lesi lengkap. Kulit normal dari seorang individu yang sehat (Bagian A) mengandung sel-sel Langerhans, sel-sel dendritik imatur yang terpencar (D), dan sel T memori yang menempati kulit (T) dalam dermis. Kulit yang tampak normal dari seorang individu psoriatik (Bagian B) menunjukkan sedikit pembesaran dan kurvatur (pelengkungan) kapiler, sedikit peningkatan jumlah sel mononuklear dermal dan sel mast (M). Biasanya ditemukan sedikit peningkatan ketebalan epidermal. Pada psoriasis plak kronis, intensitas perubahan ini tergantung pada jarak dari sebuah lesi yang telah terbentuk. Zona transisi sebuah lesi yang sedang berkembang (Bagian C) ditandai dengan peningkatan pembesaran dan kurvatur kapiler yang progresif, demikian juga jumlah sel mast, makrofage (MP), dan sel T, dan degranulasi sel mast (lengkungan hitam di tengah gambar). Dalam epidermis, terjadi peningkatan ketebalan disertai penambahan rete pegs, pelebaran ruang ekstraseluler, diskeratosis sementara, pelepasan lapisan granular yang menyisakan bintik, dan parakeratosis. Sel-sel langerhans (L) mulai keluar dari epidermis, dan sel-sel epidermal dendritik (I) dan sel T CD8+ (8) mulai memasuki epidermis. Lesi yang telah berkembang sempurna (Bagian D) ditandai dengan pembesaran dan kelengkungan kapiler secara lengkap disertai: peningkatan aliran darah 10 kali lipat, berbagai makrofag terdapat dalam membran dasar, dan peningkatan jumlah sel T dermal (terutama CD4+) yang bersentuhan dengan sel dendiritik dermal yang sedang matang (D). Epidermis lesi yang telah matang memanifestasikan hiperproliferasi keratinosit yang meningkat pesat (sekitar 10 kali lipat) meluas sampai ke lapisan suprabasal bawah, pelepasan lapisan granular yang jelas tetapi tidak seragam disertai pemadatan stratum korneum dan parakeratosis, jumlah sel T CD8+ yang meningkat, dan akumulasi neutrofil dalam stratum korneum (mikroabses Munro).







Gambar 18-3. Histopatologi psoriasis. A. Papula psoriasis yang sederhana. Pada keadaan transisi dari pinggir ke pusat lesi, perhatikan penebalan epidermis yang progresif dengan pemanjangan rete pegs, pembesaran dan lekukan pembuluh darah yang meningkat, dan infiltrat sel mononuklear yang meningkat. Perhatikan pula keadaan transisi dari basket-weave ke stratum korneum yang rapat dengan kehilangan lapisan granular pada pusat lesi. (Biopsi jarum 4 mm, hematoksilin dan eosin, skala = 100 μM). B. Perbandingan kulit yang terlibat dan yang tidak terlibat. Biopsi 4 mm diambil dari individu sama yang disampelkan pada bagian A di hari yang sama. Kulit “tidak terlibat yang jauh dari lesi” diambil 0,5 cm dari punggung atas dengan jarak 30 cm dari lesi psoriasis terdekat yang dapat dilihat. Kulit “tidak terlibat di dekat pinggir lesi” diambil 0,5 cm dari pinggir sebuah plak 20-cm, yang telah ada selama beberapa tahun, berdasarkan keterangan pasien. Kulit “plak pusat” diambil dari daerah yang relatif tidak aktif (kurang memerah dan kurang bersisik) pada pusat plak ini. Kulit “terlibat” diambil dari sebuah daerah aktif (lebih memerah dan lebih bersisik) sekitar 1 cm di dalam pinggir plak yang sama. Dalam membandingkan antara kulit “tidak terlibat yang jauh dari lesi” dan kulit “tidak terlibat di dekat pinggir lesi” perhatikan bahwa kulit tidak terlibat di dekat pinggir lesi memiliki ketebalan yang meningkat dan pemanjangan rete pegs yang lebih cepat, pembesaran dan lekukan pembuluh darah, dan jumlah sel mononuklear yang meningkat pada dermis atas, banyak diantaranya yang berada pada lokasi perivaskular. Pada pasien ini, kulit “tidak terlibat di dekat pinggir lesi” juga menunjukkan frekuensi keratinosit diskeratotik yang meningkat, sebuah temuan yang sebelumnya telah diamati pada perifer lesi psoriatik. Dalam membandingkan daerah plak yang kurang aktif dengan yang lebih aktif, perhatikan bahwa daerah yang lebih aktif menunjukkan infiltrat mononuklear dermal yang meningkat, hiperkeratotis dan parakeratosis yang meningkat, dan mikroabses Munro. (biopsi jarum 4 mm, hematoksilin dan eosin, skala = 100 μM).

Lesi awal. Pada tahap awal lesi makular seukuran kepala pin, terdapat edema, dan infiltrat-infiltrat sel mononuklear pada dermis atas. Temuan ini biasanya terbatas pada daerah salah satu atau kedua papila. Epidermis yang bersangkutan menjadi spongiotik (karakteristik mirip busa), dan lapisan granular hilang pada titik tertentu. Venula pada dermis atas membesar dan dikelilingi oleh infiltrat sel mononuklear. Temuan yang serupa ditemukan pada makula-makula dini dan papula-papula psoriasis serta kulit yang tampak normal secara klinis 2 sampai 4 cm dari lesi aktif pada pasien yang mengalami kemerahan pada psoriasis gutata. Temuan-temuan ini merupakan tanda dari “status pra-psoriasis”, yang terkait dengan faktor-faktor genetik tertentu.

Lesi yang berkembang. Studi batas-batas klinis dari lesi yang sedikit lebih besar (0,5-1,0 cm) menunjukkan sekitar 50% peningkatan penebalan epidermal pada kulit yang “tampak normal” yang berdekatan langsung dengan lesi. Terjadi peningkatan aktivitas metabolik sel-sel epidermal, yang mencakup stratum korneum, sintesis DNA yang meningkat, jumlah sel mast dan makrofag dermal meningkat, dan degranulasi sel mast berkurang. Studi selanjutnya menunjukkan peningkatan jumlah sel T dermal dan sel dendritik (DC) baik pada kulit psoriatik yang terlibat maupun yang tidak terlibat relatif terhadap kulit normal. Di sekitar pusat lesi terdapat “zona marginal”, dengan peningkatan ketebalan epidermal, peningkatan parakeratosis dan pemanjangan kapiler, dan infiltrasi perivaskular dari limfosit dan makrofage, tanpa eksudasi ke dalam epidermis. Baru-baru ini dilaporkan rete ridges mulai berkembang dalam zona marginal, sebelum transisi akhir menjadi plak psoriasis penuh. Sel-sel skuamosa memanifestasikan ruang-ruang ekstraseluler yang meluas dengan hanya sedikit koneksi desmosomal. Parakeratosis biasanya membulat atau berintik.

Lesi matang. Lesi psoriasis yang sudah matang ditandai dengan pemanjangan rete ridges yang merata, dengan penipisan epidermis di atas papila dermal. Massa epidermal bertambah 3-5 kali lipat, dan ada lebih banyak sel kanker (mitosa) yang sering diamati di atas lapisan basal. Sekitar 10% keratinosit basal bersiklus pada kulit normal, dan meningkat menjadi 100% pada kulit psoriatik berlesi. Pelebaran ruang ekstraseluler di antara keratinosit tetap berlangsung tetapi kurang dominan dibanding lesi yang sedang berkembang dan lebih seragam dibanding spongiosis tipikal dari lesi-lesi kulit eczematous. Ujung-ujung rete ridges sering berkelompok atau bergabung dengan ujung di dekatnya, disertai dengan papila edematosa yang tipis dan memanjang serta mengandung kapiler-kapiler berlekuk dan membesar. Parakeratosis, disertai hilangnya lapisan granula, sering menyusup secara horizontal tetapi bisa berseberangan disertai ortokeratosis, dan hiperkeratosis lebih ekstensif dibanding pada zona transisi. Infiltrat inflamasi di sekitar pembuluh darah dermis papiler menjadi lebih intens tetapi masih terdiri dari limfosit, makrofag, DC, dan sel mast. Berbeda dengan lesi awal dan zona transisi, limfosit berada dalam epidermis lesi matang. Neutrofil keluar dari ujung sub-bagian kapiler dermal, yang berujung pada akumulasi dalam stratum korneum parakeratotik (mikroabses Munro) dan terkadang akumulasi dalam lapisan spinalis (pustula spongiformis Kogoj). Kumpulan serum juga bisa diamati dalam epidermis dan stratum korneum.

Komponen-komponen seluler dalam sel-sel T psoriasis
Pada tahun 1984, ditunjukkan bahwa erupsi lesi kulit psoriatik disertai influks dan aktivasi sel-sel T, tidak lama berselang ditemukan bahwa resolusi psoriasis selama fototerapi didahului pengurangan jumlah sel T, terutama pada epidermis. Siklosporin A sangat efektif dalam mengobati psoriasis, dan efek ini ditunjukkan melalui penghambatan sel T bukan keratinosit. Lebih lanjut, psoriasis dapat dipicu atau disembuhkan dengan transplantasi sumsum tulang, tergantung apakah donor atau host mengalami psoriasis. Peranan sel T dalam psoriasis ditunjukkan secara fungsional pada tahun 1996 ketika diketahui bahwa proses psoriasis bisa ditimbulkan dengan menginjeksikan sel-sel T autolog teraktivasi ke dalam kulit psoriatik tidak-terlibat yang ditransplantasi pada mencit imunodefisiensi.
Sel T yang paling dikenal adalah kelompok CD4+ dan CD8+. Sebagian besar dari fenotip memori (CD45RO+), sel-sel ini mengekspresikan antigen limfosit kutaneous (CLA), sebuah ligan untuk E-selectin, yang secara selektif diekspresikan pada kapiler-kapiler kulit sehingga memberikannya akses ke dalam kulit. Sel-sel T CD8+ sebagian besar terdapat dalam epidermis, sedangkan sel-sel T CD4+ sebagian besar terdapat pada dermis atas. Profil sitokin dari lesi-lesi psoriasis kaya akan interferon (IFN)-λ, yang merupakan tanda polarisasi T helper 1 (Th1) dari sel-sel CD4+, dan polarisasi T sitotoksik 1 (Tc1) dari sel-sel CD8+. Akan tetapi, sebuah kelompok sel T CD4+ baru, yang distimulasi dengan interleukin (IL)-23 dan ditandai dengan produksi IL-17, baru-baru ini ditemukan dan bisa memegang peranan penting dalam menjaga inflamasi kronis pada psoriasis dan kondisi-kondisi auto-inflamasi lainnya.

Sel-sel T regulator. Ada beberapa populasi sel T regulator (Tregs) yang terlibat, tetapi yang paling dikenal adalah sub-kelompok CD4+CD25. Sebuah penelitian terbaru terhadap sel T ini pada psoriasis menunjukkan terganggunya fungsi inhibitori dan kegagalan untuk menekan proliferasi sel-T efektor.

Sel NK dan sel T NK. Sel pembunuh alami (NK) merupakan penghasil IFN-γ yang utama dan berfungsi sebagai jembatan antara imunitas alami dan imunitas yang didapat (acquired). Sel-sel NK sebagian diregulasi oleh reseptor mirip imunoglobulin (KIR), yang mengenali HLA-C dan molekul MHC klas I lainnya. KIR adalah famili dari sekitar 15 gen terkait dekat yang terdapat pada kromosom 19q13.4, beberapa diantaranya menstimulasi dan yang lainnya menghambat aktivasi sel NK. Baru-baru ini, gen-gen KIR ditemukan terkait dengan psoriasis dan artritis psoriatik.

Sel-sel dendritik. Pengobatan yang utama diarahkan untuk molekul ko-stimulator yang diekspresikan oleh DC penampil-antigen “profesional” dapat memulihkan psoriasis. Ini menunjukkan bahwa sel-sel T dalam lesi psoriatik berhubungan konstan dengan DC, yang mana memiliki peranan dalam pembangkitan respon imun adaptif dan induksi toleransi sendiri (self-tolerance). Beberapa sub-kelompok DC telah ditemukan, dan banyak diantaranya yang ditemukan pada keadaan matang dalam lesi-lesi psoriasis. Walaupun sel-sel ini diyakini memegang peranan penting dalam patogenesis psoriasis, namun peranan spesifik dari masing-masing sub-kelompok ini masih belum jelas.

Sel-sel Langerhans
Sel-sel Langerhans (LC) dianggap sebagai DC yang belum matang (iDC). LC memiliki peranan yang jelas sebagai sel penampil antigen (APC) pada dermatitis kontak, tetapi peranannya dalam psoriasis, dimana jumlahnya berkurang drastis, masih belum jelas. DC yang kekurangan karakteristik granula Birbeck tetapi positif untuk molekul pematangan DC-LAMP ditemukan dalam dermis lesi psoriasis, sehingga menunjukkan bahwa sel-sel ini menjadi matang dan keluar dari epidermis selama perjalanan pembentukan lesi. Menariknya, migrasi LC sebagai respon terhadap sitokin inflammatori sangat terganggu pada epidermis psoriatik yang tidak terlibat.

Sel-sel epidermal dendritik inflamator
Meskipun merupakan iDC yang berasal dari monosit, sel-sel epidermal dendritik inflammatory (IDEC) berbeda dengan LC berdasarkan kurangnya granula Birbeck dan ekspresi CD1a yang lebih rendah. Berbeda dengan LC, IDEC hampir tidak ada pada kulit normal, dan jumlahnya meningkat tajam pada epidermis dari lesi psoriasis aktif, serta pada berbagai dermatosa inflammator lainnya.

Sel-Sel Dendritik Dermal
Sel dendritik dermal diidentifikasi dengan ekspresi MHC kelas II atau faktor XIIIa yang kuat. Sel dendritik dermal tidak mengekspresikan penanda-penanda aktivasi pada kulit normal dan bisa dianggap sebagai tipe lain dari iDC yang mirip dengan iDC mieloid yang ditemukan pada jaringan-jaringan lain. Lesi-lesi psoriasis menunjukkan peningkatan jumlah keadaan pematangan yang signifikan dari sel-sel ini.

Sel-Sel Dendiritik Plasmasitoid
DC plasmasitoid (pDC) tidak efisien dalam menampilkan antigen pada sel T. Akan tetapi, sel-sel ini meregulasi inflamasi dan menghubungkan imunitas alami dengan imunitas adaptif, menghasilkan jumlah IFN-α yang banyak saat teraktivasi. Dengan tidak terdapat pada kulit normal, PDC meningkat signifikan pada kulit psoriatik yang terlibat dan yang tidak terlibat. Tetapi hanya teraktivasi pada kulit yang terlibat. Menariknya, inhibisi pDC terbukti mencegah perkembangan psoriasis pada model xenograf mencit. Sebaliknya, imiquimod, yang telah dilaporkan memperburuk psoriasis, kemungkinan bekerja melalui sistem IFN tipe I ini dengan mengikat reseptor Toll-like (TLR) 7 pada pDC.

Sel mast dan makrofag. Sel mast dan makrofag dominan pada lesi psoriasis tahap awal dan tahap berkembang (lihat Gambar. 18-2). Banyak dari makrofag yang tersebar tepat di bawah membran dasar, berdekatan dengan proliferasi keratinosit yang mengekspresikan kemokin makrofag MCP-1. Sel-sel yang aktif secara fagosit ini terlibat dalam menghasilkan fenestrasi (lubang) dalam membran dasar epidermal. Penelitian terbaru tentang dua model psoriasis yang berbeda pada mencit, yang satu tergantung pada sel T dan yang lainnya tidak, menunjukkan bahwa eliminasi makrofag secara selektif berujung pada perbaikan lesi. Temuan-temuan baru ini menunjukkan bahwa makrofag memegang peranan penting dalam patogenesis psoriasis, sekurang-kurangnya melalui produksi TNF-α.

Neutrofil. Walaupun secara umum ditemukan lesi psoriasis pada epidermis atas, neutrofil muncul lambat selama perkembangan lesi, jumlahnya sedikit bervariasi, dan peranannya dalam patogenesis psoriasis masih belum jelas. Penelitian-penelitian terbaru pada salah satu model mencit menunjukkan bahwa neutrofil kemungkinan tidak diperlukan untuk terjadinya lesi.

Keratinosit. Keratinosit adalah penghasil utama sitokin pro-inflammator, kemokin, dan faktor-faktor pertumbuhan, serta mediator-mediator inflamasi lainya seperti eikosanoid dan mediator imunitas alami seperti katelisidin, defensin, dan protein S100. Keratinosit psoriatik terlibat dalam sebuah jalur alternatif dar diferensiasi keratinosit yang disebut pematangan regeneratif. Pematangan regeneratif diaktivasi sebagai respon terhadap stimulasi imunologi pada psoriasis, tetapi mekanisme pastinya belum diketahui sampai sekarang.

Tipe sel lain. Tipe-tipe sel lain, seperti endotelial dan fibroblast, kemungkinan berpartisipasi dalam proses patogenik. Sel endotelial sangat teraktivasi pada lesi psoriasis yang sedang berkembang atau lesi matang dan disamping menyebabkan peningkatan aliran darah 10 kali lipat ke lesi, sel-sel endothelial juga memegang peranan utama dalam mengendalikan fluks leukosit dan protein serum ke dalam jaringan psoriatik. Fibroblast mendukung proliferasi keratinosit dengan cara parakrin, dan proses ini meningkat pada psoriasis. Fibroblast menghasilkan banyak faktor kemotaksis dan mendukung migrasi sel T keluar dari lesi psoriasis. Sehingga, fibroblast juga bisa terlibat dalam psoriasis dengan mengarahkan lokalisasi sel T.

Molekule-Molekul Isyarat (Signalling) pada Psoriasis
Sitokin dan chemokin. Rangkaian sitokin pada psoriasis sangat kompleks, dengan melibatkan aksi dan interaksi berbagai sitokin, kemokin, dan faktor-faktor pertumbuhan serta reseptor-reseptornya di samping mediator-mediator lain yang dihasilkan oleh berbagai tipe sel. Kombinasi sitokin dan faktor pertumbuhan bisa menghasilkan efek yang tidak ditemukan apabila faktor-faktor ini diteliti secara tersendiri. Sebagai contoh, klon-klon sel T yang diisolasi dari lesi kulit psoriasis mampu mempromosikan proliferasi keratinosit dengan cara yang tergantung IFN-γ, tetapi dengan sendirinya, IFN-γ memiliki efek antiproliferatif terhadap keratinosit-keratinosit yang dikulturkan.
Selain IFN-γ, beragam sitokin dan kemokin meningkat sensitifitasannya (upragulated) pada psoriasis, termasuk sitokin TNF-α, IL-2, IL-6, IL-8, IL-15, IL-17, IL-18, IL-19, IL-20, dan IL-22 dan kemokin MIG/CXCL9, IP-10/CXCL10, I TAC/CXCL11 dan MIP3α/CCL20. Abnormalitas yang lebih kompleks ditemukan untuk sitokin-sitokin imunomodulasi dan reseptornya, yang mencakup IL1 dan TGF-β. Plak psoriatik ditandai dengan dominasi sitokin yang dihasilkan oleh sel-sel Th1 (IFN-γ, IL2, dan TNF-α) di antara yang dihasilkan oleh sel-sel Th2 (IL-4, IL-5, dan IL-10). DC juga mengkontribusikan sitokin yang mencakup IL-18, IL-20, IL-23, dan TNF-α. IL-18 dan IL-23 menstimulasi produksi IFN-γ dan sekarang ini telah jelas bahwa IL-23 dan bukan IL-12 (yang memiliki subunit p40 sama dengan IL-23) yang merupakan sumber utama dari ekspresi p40 yang meningkat pada lesi-lesi psoriatik. Seperti yang disebutkan sebelumnya, IL-23 mendukung inflamasi kronis dengan mempertahankan sub-kelompok sel T CD4+ terpisah yang ditandai dengan produksi IL-17. Baru-baru ini, sub-kelompok Th17 ini telah ditunjukkan memperluas IL-22, yang memediasi inflamasi dermal terinduksi IL 23 dan hiperplasia epidermal pada mencit. Sitokin terpenting yang saat ini dianggap terlibat dalam patogenesis psoriasis dirangkum pada Gambar. 18-4.


Gambar 18-4. Kunci interaksi sitokin pada lesi psoriasis. Hubungan sitkon pada psoriasis sangatlah komplek, melalui berbagai interaksi sitokin, kemokin, dan faktor-faktor pertumbuhan yang meliputi berbagai siklus positif dan umpan balik negatif. Hanya sitokin yang dijelaskan pada gambar ini. Sitokin Th1 seperti interferon (IFN-γ) dan TNF-ά merupakan sitokin spesifik, sedangkan IL-23 hanya sedikit implikasinya dalam patogenesis. IL-2 diperkirakan untuk memelihara dan mempeluas sel T CD4+, yang dinamakan Th17, yang dikarakteristikkan dengan produksi IL-17 dan IL-22. Sitokin-sitokin lainnya adalah sel dendritik (DCs)CD4+ dan sel T CD8+, dan keratinosit (KCs). IFN-γ dan TNF-ά menginduksi KCs untuk memproduksi IL-7, IL-8, IL-12, IL-15, IL-18, dan TNF-ά di samping sitokin-sitkoin, ekmokin, dan faktor-faktor pertumbuhan. IL-18 bertindak dalam DCs secara sinergis dengan Il-12 untuk meningkatkan produksi IFN-γ. IL-7 dan IL-15 penting untuk proliferasi dan homeostasis sel T CD8+. IL-17 bekerja sama dengan IFN-γ untuk mengelisitasi sitkon pro-inflamator dan kemokin oleh KCs, TGFά = trasforming growth factor- ά.

Mediator imun alami. Di samping sitokin dan chemokin, beberapa mediator imunitas alami diekspresikan secara abnormal pada psoriasis. Yang paling utama adalah HBD-2 dan LL-37, keduanya meningkat pada psoriasis tetapi tidak pada dermatitis atopik. Khususnya, ekspresi HBD-2 dan LL-37 meningkat pada saat merespon sitokin pro-inflamasi dan sitokin tipe I (TNF-α, IL1, dan IFN-γ) dan ditekan oleh sitokin tipe II (IL-4, IL-10, dan IL-13). Perbedaan ekspresi peptida antimikroba membantu menjelaskan mengapa sekitar 30% pasien yang mengalami dermatitis atopik memiliki infeksi bakteri atau virus, sedangkan hanya 7% dari pasien psoriasis yang mengalami dermatitis atopik. Perbedaan ini juga menjelaskan mengapa pasien psoriasis, meskipun sering terinfeksi Staphylococcus aureus, tidak dapat dibantu banyak dengan pengobatan antibiotik, sedangkan pasien dermatitis atopik sering dapat dibantu dengan terapi antibiotik. Protein S100 adalah famili protein berberat molekul rendah dimerik yang mengikat kalsium dan kation divalen lainnya. Heterodimer S100A2, S100A7 (psoriasin), dan S100A3/A9 diekspresikan secara berlebih pada lesi-lesi psoriasis. Protein-protein ini menghasilkan aktivitas kemotaksis dan antimikroba, melalui sekuestrasi ion-ion zink. Oksida nitrat dihasilkan dalam jumlah besar oleh DC pada psoriasis melalui oksida nitrat sintase yang dapat dihasilkan oleh sel, dimana oksida nitrat memicu berbagai proses transduksi sinyal. Terakhir, komponen komplemen C5a merupakan sebuah kemotraktan potensial untuk neutrofil dan bisa berkontribusi bagi akumulasi neutrofil dalam stratum korneum psoriasis. Menariknya, komponen ini merupakan kemoatraktan yang paling potensial untuk DC pada ekstrak pelepuhan psoriasis. Banyak dari mediator ini yang diregulasi pada saat merespon terhadap reseptor TLR, sehingga menghasilkan sebuah mekanisme dimana sistem imun alami bisa dengan cepat mengenali berbagai patogen berdasarkan pola-pola molekuler nya yang terkait patogen.

Eikosanoid. Peranan eikosanoid dalam psoriasis masih belum jelas. Kadar asam arachidonat bebas, leukotriena B4, asam 12-hidroksieikosatetraenoat, dan asam 15- hidroksieikosatetraenoat meningkat pesat pada kulit berlesi, sedangkan kadar prostaglandin E dan F2α meningkat kurang dari dua kali lipat.

Faktor-faktor pertumbuhan. Banyak faktor pertumbuhan yang memiliki ekspresi berlebihan pada psoriasis. Anggota famili EGF (faktor pertumbuhan epidermal) menginduksi produksi keratinositnya sendiri, yang mencakup TGF-α, ARE6, dan faktor pertumbuhan mirip EGF pengikat heparin. Penelitian-penelitian terbaru pada xenograf mencit menemukan pengurangan hiperplasia epidermal setelah netralisasi ARE6 yang diperantarai antibodi. Aktivasi reseptor EGF menstimulasi produksi keratinosit dari VEGF (faktor pertumbuhan endotelial vaskular), kemungkinan mewakili temuan bahwa sifat angiogenik dari kulit normal dan kulit psoriasis terkait dengan epidermis. Polimorfisme dalam gen VEGF juga telah dilaporkan terkait dengan psoriasis. Faktor pertumbuhan saraf (NGF) juga diekspresikan berlebih oleh keratinosit pada kulit psoriasis, dan reseptor NGF meningkat pada saraf perifer kulit berlesi. Faktor-faktor pertumbuhan parakrin yang dihasilkan di luar batas epidermal juga bisa memegang peranan penting dalam menstimulasi hiperplasia epidermal pada psoriasis, termasuk IGF-1 dan faktor pertumbuhan keratinosit.

Protease dan inhibitornya. Lesi psoriasis ditandai dengan ekspresi berbagai proteinase yang berlebihan oleh keratinosit dan leukosit. Metaloproteinase melepaskan TNF-α, faktor pertumbuhan mirip EGF, dan banyak sitokin lain dan faktor pertumbuhan dari prekursor dalam membran mereka. Elastase yang berasal dari leukosit juga berdampak dalam pelepasan faktor pertumbuhan mirip EGF. Serin protease secara langsung mengaktivasi reseptor yang teraktivasi-protease. Masing-masing dari mekanisme ini bisa berkontribusi bagi stimulasi proliferasi keratinosit. Inhibitor protease seperti elafin, serpinB3, dan serpinB13 (hurpin) adalah diantara gen yang paling tinggi ekspresinya pada lesi psoriasis, sehingga menunjukkan bahwa mekanisme-mekanisme homeostatis terlibat dalam upaya untuk meregulasi lingkungan proteolitik pada lesi psoriatik.

Integrin. Beberapa penelitian menyarankan adanya peranan dini integrin α5 dan fibronektin ligannya dalam psoriasis. Fibronektin meningkat pada epidermis psoriatik, dan telah diduga bahwa fibronektin menjangkau epidermis melalui fenestrasi dalam membran dasar epidermal.

Transduksi sinyal. Dengan banyaknya perubahan transduksi sinyal interseluler, banyak mekanisme transduksi sinyal yang terdisregulasi dalam epidermis psoriatik, termasuk jalur reseptor tirosin kinase, protein kinase yang terkativasi-mitogen, Akt, STAT, famili kinase Sre, dan jalur NF-kB. Abnormalitas ini mempengaruhi aktivitas dan lalu-lintas imunosit serta respon proliferasi, diferensiasi dan kelangsungan keratinosit.

Psoriasis sebagai Penyakit Autoimun: Perpaduan Genetika dan Imunologi
Sel-sel T CD8+ terdiri dari sekurang-kurangnya 80% sel T dalam epidermis lesi psoriatik, dan invasinya ke dalam epidermis berkorelasi dengan perkembangan lesi. Karena sel ini menampilkan antigen ke sel T CD8+, HLA-Cw6 merupakan kandidat yang sangat baik untuk keterlibatan fungsional pada psoriasis. Gambar 18-5 merupakan sebuah model transisi dari psoriasis gutata menjadi plak kronis dan model peranan HLA-Cw6 dalam patogenesis psoriasis. Banyak aspek dari model ini yang masih perlu diverifikasi dengan eksperimen.


Gambar 18-5 A.Model yang dipikirkan untuk transisi dari gutata kepada plak kronis psoriasis. Hanya menggambarkan sel –T spesifik Streptococcus bermigrasi dari tonsil ke kulit yang mana pada kulit sel T mengenali derivat antigen reaktif-silang daripada keratinosit yang mengakibatkan terjadinya aktivitas inflamator (lesi guttate). Jika presentasi -silang yang efektif tidak terjadi, penyakit akan sembuh dengan sendirinya. Jika presentasi-silang yang efektif terjadi dalam tisu limfoid kulit sekunder, terjadinya generasi dan pengambilan sel T auto-reaktif, sehingga mengakibatkan proses yang kronis.B. Peran dari HLA-Cw6 yang dipikirkan dalam patogenesis dari psoriasis. Antigen dalam kantung pengikat dari HLA-C (dalam kasus ini HLA-Cw6) berinteraksi dengan reseptor sel-T (TCR). Regio dari TCR yang berinteraksi secara langsung dengan antigen adalah complement- determining region 3 (CDR3). Oligoklonilitas dari regio CDR3 telah ditunjukkan untuk sel T CD8+ , sehingga bisa dipikirkan bahwa psoriasis adalah merupakan proses yang dipicu antigen. Peran dari HLA-Cw6 dalam psoriasis bisa jadi 2 kali lipat. HLA-Cw6 adalah aktif dalam presentasi-silang peptide pada permukaan dari sel dendritik, sehingga membolehkan aktivasi dan ekspansi klonal dari antigen-spesifik sel CD8+. Proses ini bersifat dependen terhadap bantuan sel CD4+ dan kemungkinan terjadi pada kedua dermis (aktivasi dari memori sel T residen) dan kelenjar limfe lokal (aktivasi dari sel T yang mentah). Berikutnya, sel T CD8+ bisa bermigrasi ke dalam epidermis yang mana disini mereka akan menemukan HLA-Cw6 pada permukaan keratinosit dan memberikan presentasi yang sama dengan peptide patogenik. Ini mengakibatkan pelepasan mediator inflamator dari sel T CD8+ dan aktivasi dari keratinosit , menghasilkan perkembangan lesi psoriatik.mDc= sel dendritik matang.




























GEJALA KLINIS
Gambar 18-6 merupakan algoritma yang menunjukkan gejala klinis dan pengobatan untuk psoriasis

Gambar 18-6
Algoritme diagnosis dan pengobatan bagi psoriasis. Diagnosa bagi psoriasis biasanya berdasarkan presentasi klinis. Dalam beberapa kasus yang mana riwayat klinis dan pemeriksaan adalah tidak diagnostik, biopsi perlu dilakukan untuk mendapatkan diagnosa yang betul. Mayoritas dari kasus psoriasis adalah dibagikan kepada 3 kategori utama; gutata, eritrodermik/ pustular, dan plak kronik,yang mana plak kronik adalah kasus yang sering didapatkan. Psoriasis gutata merupakan penyakit yang sering sembuh sendiri dengan resolusi spontan dalam tempoh 6 sehingga 12 minggu. Dalam kasus psoriasis gutata yang ringan, pengobatan tidak diperlukan, tetapi dengan penyebaran yang meluas fototerapi ultraviolet B (UVB) dengan asosiasi terapi topikal adalah sangat efektif. Psoriasis pustular/eritrodermik sering berhubungan dengan simptom sistemik dan memerlukan pengobatan dengan pengobatan sistemik kerja cepat. Obat yang sering digunakan bagi pengobatan psoriasis tipe ini adalah acitretin. Dalam beberapa kasus dengan psoriasis pustular penggunaan steroid sistemik adalah perlu (**). Panah berbintik menunjukkan bahwa bentuk gutata, eritrodermik dan pustular sering berubah menjadi bentuk plak kronis. Pilihan terapi untuk psoriasis bentuk plak kronis secara ipikalnya bergantung kepada derajat keparahan penyakit tersebut. Di antara regimen utama pengobatan (terapi topikal, fototerapi, pusat pengobatan harian, dan terapi sistemik), modalitas lini pertama dan lini kedua adalah diindikasikan dari garis tegas dan garis putus-putus. Individu dengan kondisi yang menghambat aktivitas mereka, termasuk adanya nyeri palmoplantar dan psoriatik arthritis, memerlukan pengobatan yang lebih poten tanpa melihat luas area permukaan tubuh yang terkena penyakit ini. Isu fisiologis dan dampak terhadap kualitas hidup juga harus diambil kira. Dalam tiap regimen pengobatan, pilihan lini pertama dan lini kedua dikelompokkan. Siklosporin A tidak dipertimbangkan sebagai lini pertama, pengobatan sistemik jangka panjang oleh karena efek sampingnya, tetapi pengobatan jangka pendek bisa membantu menginduksi remisi. Jika pasien mempunyai respon yang tidak mencukupi atau tidak bisa mentolerir pengobatan sistemik lini pertama individu, kombinasi regimen (tabel 18-5), pengobatan rotasional, atau penggunaan terapi biologik sekiranya haruslah diambil.

Riwayat Penyakit
Maklumat tentang onset usia dan riwayat tentang adanya psoriasis dalam keluarga adalah penting untuk diketahui, oleh karena onset penyakit pada usia muda dan adanya riwayat psoriasis dalam keluarga mempunyai tingkat kemungkinan terjadinya rekurensi yang lebih tinggi serta penyebaran penyakit yang lebih meluas. Selanjutnya, pemeriksa seharusnya menanyakan tentang perjalanan penyakit yang terjadi sebelumnya, oleh karena adanya perbedaan yang besar antara fase ‘akut’ dan fase’kronis’ dari penyakit ini. Pada fase kronis, lesi bisa menetap sehingga berbulan-bulan atau tahunan, manakala pada fase akut dari penyakit ini pembentukan lesi secara meluas terjadi secara tiba-tiba dalam tempoh beberapa hari. Namun begitu, pasien mempunyai tingkat variabilitas yang pelbagai untuk kambuh kembali. Sebagian dari pasien mempunyai relaps yang frekuen dan terjadi dari tempo mingguan hingga bulanan, manakala sebagian lainnya mempunyai proses penyakit yang lebih stabil dan dengan sesekali terjadi rekurensi. Bagi pasien yang sering terjadi relaps, mereka lebih cenderung menjalani tingkat penyakit yang lebih parah dengan pembentukan lesi lebih besar yang terjadi dengan cepat sehingga hampir memenuhi keseluruhan badan dan memerlukan pengobatan terperinci berbanding dengan pasien yang proses penyakitnya lebih stabil. Sebagian dari obat bisa memperbarat kondisi psoriasis. Pemeriksa juga hendaklah menanyakan tentang keluhan pada persendian. Walaupun kejadian osteoarthritis sering didapatkan dan bisa terjadi bersama-sama dengan psoriasis, riwayat onset terjadinya gejala pada persendian sebelum dekade ke-4 dan atau riwayat terjadinya bengkak yang terasa panas pada persendian bisa menimbulkan kecurigaan terjadinya psoriatik arthritis.

Lesi Kulit
Bentuk klasik dari lesi pada psoriasis adalah berbatas tegas, plak merah dengan permukaan skuama berwarna putih (gambar 18-7). Lesi bisa bervariasi saiznya dari papula kecil sehingga plak yang menutupi sebagian besar area badan. Pada bawah dari permukaan skuama, kulit terlihat mempunyai eritema yang merata dan berkilat, dan bintik-bintik darah dapat dilihat apabila permukaan skuama dilepas, yang mana ini mengakibatkan trauma pada kapiler yang dilatasi dibawahnya (tanda Auspitz) (gambar 18-8). Erupsi pada psoriasis cenderung terjadi simetris sehingga ini merupakan tanda yang membantu dalam penegakan diagnosa. Namun, erupsi unilateral juga bisa terjadi. Fenotip psoriasis bisa memberikan spectrum yang berubah dariekspresi penyakit walaupun pada pasien yang sama.
Fenomena Koebner (turut dikenal sebagai respon isomorfik) adalah induksi trauma dari psoriasis pada kulit; lebih sering terjadi semasa perkembangan penyakit dan merupakan fenomena semua- atau- tiada (contoh, jika psoriasis terjadi pada satu dari bagian yang kulit yang terluka maka akan terjadi pada semua bagian lain yang terluka) (gambar 18-9). Reaksi Koebner biasanya terjadi 7-14 hari setelah terjadinya luka, setidaknya 25% dari pasien mempunyai riwayat trauma yang berhubung dengan fenomena Koebner pada suatu masa dari hidup mereka. Anggaran prevalensi masa hidup meningkat sehingga 76 % manakala faktor seperti infeksi, stress emosi dan reaksi obat turut dimasukkan. Fenomena Koebner adalah tidak spesifik untuk psoriasis namun adanya fenomena ini bisa membantu untuk menegakkan diagnosa psoriasis pada pasien.



















Gambar 18-7
Psoriasis plak kronis pada lokasi tipikal. Perhatikan lesi simetris yang berbatas tegas.









Gambar 18-8. Tanda Auspitz. Perhatikan bintik darah setelah lapisan skuama dilepas.

Gambaran Klinis dari Lesi Kulit.
Psoriasis vulgaris, Psoriasis kronis stationair, Psoriasis tipe plak. Psoriasis vulgaris merupakan tipe yang paling sering didapatkan dari bentuk psoriasis, dilihat pada hampir 90% dari jumlah pasien. Plak merah, skuama, dan distribusi simetris didapatkan secara karakteristik di aspek ekstensor dari ekstrimitas, terutamanya pada siku dan lutut, kulit kepala, lumsakral bawah, punggung, dan juga keterlibatan pada alat genital (lihat gambar 18-7). Lokasi lain dari predileksi penyakit ini adalah umbilikus dan celah intergluteal. Derajat atau luas bagian tubuh yang terlibat adalah berbeda bagi setiap pasien. Terdapat produksi skuama yang konstan dalam jumlah yang besar dengan alterasi yang kecil dari aspek bentuk dan distribusi dari plak per individu. Lesi tunggal yang kecil bisa jadi konfluen, membentuk plak dengan batas yang menyerupai peta (psoriasis geografika). Lesi bisa meluas secara eksternal dan berbentuk bulat oleh karena konfluen dari beberapa plak (psoriasis girata). Kadangkala, terdapat bagian sentral yang bebas secara partial sehingga membentuk lesi berbentuk seperti cincin (psoriasis annular) (gambar 18-10). Ini selalunya berhubung dengan kawasan lesi yang bebas dan menandakan prognosis yang bagus. Variasi klinikal lainnya dari psoriasis bentuk plak dideskripsikan atas morfologi dari lesi , terutamanya yang terkait dengan hioerkeratinosis yang berlebihan (lihat gambar 18-10). Psoriasis rupioid merujuk kepada lesi yang berbentuk kon. Psoriasis ostraseus merupakan suatu istilah yang jarang dipakai yang merujuk kepada lesi hiperkeratotik cekung yang berbentuk seperti cincin yang menerupai cangkerang. Terakhir psoriasis elephantine adalah suatu bentuk psoriasis yang jarang ditemukan, dengan karateristik seperti skuama yang tebal,plak besar terutama pada ekstremitas bawah. Kadang bisa dilihat satu cincin hipopigmentasi (cincin Woronoff) yang mengelilingi lesi psoriatik pada individu selalunya berhubungan dengan pengobatan terutamanya radiasi UV atau penggunaan kortikosteroid topikal (lihat gambar 18-10). Patogenesisnya masih belum diketahui sepenuhnya tapi bisa mengakibatkan inhibisi dari produksi prostaglandin.



Gambar 18-9. Fenomena Koebner. A. Psoriasis terjadi pada lokasi biopsi keratome 4 minggu setelah biopasi dilakukan.B. Psoriasis yang meluas setelah kejadian sengatan matahari. Perhatikan kawasan yang dilindungi dari cahaya matahari tidak terjadi psoriasis.


Gambar 18-10. Psoriasis tipe plak yang tidak tipikal. A. Psoriasis anular pada sisi samping badan. B. Psoriasis rupiod pada anak; perhatikan lesi berbentuk kon. C. Pasien dengan psoriasis yang sedang menjalani proses terapi Goeckerman termodifikasi (cahaya ultraviolet B, tar arang, steroid topikal ) menunjukkan adanya cincin Woronoff D. Psoriasis elephantine pada ekstremitas bawah; perhatikan psoriasis turut mengenai kuku jari kaki.

Psoriasis (Eruptif) Gutata
Psoriasis gutata (dari kata Latin gutta yang berarti setitik) dikarakteristikan dengan erupsi papul kecil (0.5 sehingga 1.5 cm pada diameternya) pada batang tubuh bagian atas dan ekstremitas atas (gambar 18-11). Secara tipikal, ia sering bermanifestasi pada usia muda dan sering ditemukan pada dewasa muda. Bentuk psoriasis ini mempunyai hubungan yang paling kuat dengan HLA- Cw6, dan infeksi streptokokal pada tenggorokan sering mendahului atau terjadi bersama-sama dengan onset dari psoriasis gutata. Tetapi terapi antibiotik telah dilihat tidak memberikan fedah atau memendekkan perjalanan penyakit. Pasien dengan riwayat psoriasis plak kronis bisa mendapatkan lesi gutata dengan atau tanpa memperparah kondisi dari plak kronis mereka.











Gambar 18-11. Psoriasis gutata, yang melibatkan paha (A), tangan (B), dan punggung (C dan D). Pasien pada gambar D, penyakitnya berkembang menjadi psoriasis plak kronis.

Psoriasis Plak Kecil
Psoriasis plak kecil menyerupai psoriasis gutata secara klinisnya, tetapi dapat dibedakan atas onsetnya yang sering pada usia tua, derajat keparahannya, dan mempunyai lesi yang lebih besar (tipikalnya 1-2 cm) yang lebih tebal dan berskuama dari bentuk gutata. Adanya pemikiran bahwa bentuk ini sering ditemukan pada presentasi dengan onset usia tua dari psoriasis pada orang Korea dan negara Asia lainnya.

Psoriasis Tipe Inverse
Lesi psoriasis bisa terdapat dilokasi pada lipatan kulit mayor seperi pada aksila, region genital-kruria, dan pada leher. Skuama terutamanya minimal atau tiada sama sekali, dan lesi menunjukkan eritema berbatas tegas yang mengkilat, terutamanya pada lokasi area kontak kulit ke kulit (gambar 18-12).Proses berkeringat terganggu pada area yang terlibat.







Gambar 18-12. Psoriasis terbalik. Perhatikan bentuk plak yang mengkilat, bewarna merah seperti daging dan berbatas tegas pada A. Pasien pada B mempunyai atropi dan purpura pada bagian dalam atas dari lengan, terjadi sekunder akibat pengobatan kortikosteroid topikal kronis.

Psoriasis Eritrodermik
Psoriasis eritroderma merujuk kepada bentuk penyakit yang meluas pada semua bagian tubuh, termasuklah muka, tangan, kaki, kuku, trunkus, dan ekstremitas (gambar 18-13). Walaupun semua simptom dari psoriasis ada, eritema merupakan tanda yang paling nyata, dan skuama adalah berbeda berbanding dengan bentuk psoriasis stationair yang kronis. Pada tipe ini yang didapatkan adalah skuama superfisial dan bukannya skuama tebal yang berlekatan. Pasien dengan psoriasis eritrodermik mengalami kehilangan skuama yang berlebihan oleh karena vasodilatasi yang meluas sehingga bisa mengakibatkan hipotermia. Pasien bisa jadi menggigil untuk meningkatkan suhu tubuh mereka. Kulit psoriatik biasanya dalam kondisi hipohidrotik oleh karena terjadinya oklusi pada duktus keringat, dan adanya resiko hipertermia pada daerah yang panas. Edema pada ekstremitas bawah sering didapatkan oleh karena terjadinya vasodilatasi dan kehilangan protein dari pembuluh darah ke dalam tisu. Kegagalan cardiac output yang tinggi serta kegagalan pada fungsi hepar dan ginjal bisa terjadi. Psoriatik eritroderma mempunyai pelbagai presentasi, tetapi hanya 2 bentuk yang dipikirkan ada. Dalam bentuk yang pertama, psoriasis plak kronis bisa memburuk dan melibatkan sebagian atau semua permukaan kulit, dan pasien berespons secara relatif terhadap terapi. Dalam bentuk yang kedua, eritroderma yang meluas bisa didapatkan secara tiba-tiba atau akibat tidak mentolerir pengobatan eksternal (contoh, UVB, Antralin) sehingga memberikan presentasi suatu reaksi Koebner yang meluas. Psoriasis pustular yang meluas [lihat Psoriasis Pustular yang Meluas (von Zumbusch)] bisa berbalik menjadi eritroderma dengan pengurangan atau tiada formasi pustula. Kadangkala masalah diagnostic bisa terjadi pada psoriatik eritroderma yang terjadi akibat kasusa yang berbeda.






Gambar 18-13. Psoriasis eritrodermik. Pasien pada A mempunyai psoriasis plak kronis yang berkembang sehingga hampir menutupi keseluruhan area tersebut. Pasien pada B juga mengalami perkembangan penyakit sehingga hampir keseluruhan badan dan memberikan keluhan lemah dan malaise. Perhatikan area yang tidak terkena penyakit pada kedua lengannya.

Psoriasis Pustular
Terdapat beberapa variasi klinis dari bentuk psoriasis pustulosa: psoriasis pustulosa yang meluas (tipe von Zumbusch), psoriasis pustulosa annular, herpetiformis impetigo, dan 2 variasi dari psoriasis pustulosa yang terlokalisasi-palmaris pustulosis et. plantaris dan arkodermatitis kontinua. Pada anak-anak, psoriasis pustulosa bisa dikomplikasikan dengan lesi litik yang steril pada tulang dan bisa bermanifestasi sebagai sindroma SAPHO (sinovitis, acne, pustulosis, hiperostosis, osteitis).

Psoriasis Pustulosa yang Meluas (von Zumbusch)
Psoriasis Pustular yang Meluas (von Zumbusch) merupakan bentuk psoriasis akut yang berbeda dari variasi bentuk psoriasis. Bentuk ini biasanya didahului oleh bentuk penyakit lainnya. Bentuk serangannya mempunyai karakteristik seperti demam yang berlanjut sehingga beberapa hari dan erupsi dari pustula steril yang meluas dengan diameter 2-3 mm (lihat gambar 18-4). Pustulanya tersebar ke seluruh batang tubuh dan ekstremitas termasuklah kuku, telapak tangan dan telapak kaki. Pustula ini biasanya terjadi pada permukaan kulit yang sangat eritromatous, pertamanya sebagai suatu bercak, (gambar 18-15) dan kemudiannya menjadi konfluen seiring dengan memberatnya penyakit ini. Proses penyakit yang terus berkelanjutan bisa menyebabkan jari-jari menjadi atropik. Eriterma ini mengeliling pustula dan sering menyebar dan menjadi konfluens, sehingga menjadi eritroderma. Secara karakteristiknya, penyakit ini terjadi dalam gelombang dari demam dan pustula. Etiologi dari psoriasis bentuk ini tidak diketahui. Pelbagai agen provokasi termasuk infeksi, pencetus yang menimbulkan iritasi (fenomena Koebner), dan penarikan dari penggunaan kortikosteroid oral. Bentuk psoriasis ini selalunya berhubungan dengan tanda sistemik yang prominen dan berpotensi menjadi komplikasi yang berakibat fatal seperti superinfeksi bakteri, sepsis, dan dehidrasi. Psoriasis pustulosa yang berat sukar dikontrol dan memerlukan regimen pengobatan dengan onset kerja cepat untuk mengelakkan terjadinya komplikasi yang mengancam jiwa. Obat yang biasanya digunakan adalah termasuk etretinat, metrotreksat (MTX), siklosporin; atau kortikosteroid oral. Kasus sindrom distres pernapasan akut yang berhubungan dengan psoriasis pustulosa juga pernah dilaporkan.












Gambar 18-14. A-C. Generalisata, Von Zumbuch, psoriasis tipe pustular, diameter 1-2 mm pada dasar kulit yang eritematosa.




Gambar 18-15. Psoriasis pustular. Panel B merupakan gambaran pustula dari jarak dekat yang dibesarkan dari panel A.

Psoriasis Pustulosa Eksantematik
Psoriasis Pustulosa Eksantematik cenderung terjadi setelah infeksi virus dan terdiri dari pustulosa yang meluas dengan psoriasis tipe plak pada hampir seluruh tubuh. Namun pada tipe ini tidak ditemukan gejala konstitusional dan kelainan ini cenderung tidak kambuh kembali, tidak seperti tipe von Zumbusch. Terdapat persamaan pada tipe ini dengan tipe pustulosa eksantematous yang meluas secara akut, salah satu tipe dari erupsi obat.

Psoriasis Pustulosa Anular
Psoriasis pustulosa anular merupakan variasi yang jarang dari tipe psoriasis pustulosa. Pada tipe ini selalu didapatkan bentuk cincin atau bulat. Lesi bisa didapatkan pada onset dari psoriasis pustulosa, dengan kecenderungan meluas ke seluruh tubuh dan membentuk cincin besar atau tipe ini bisa terjadi ketika proses perjalanan dari penyakit tipe psoriasis pustulosa meluas. Bentuk karakteristik dari pustulosa adalah pustul di atas eritema yang berbentuk cincin yang kadangkala menyerupai eritema anular sentrifugum. Lesi yang sama didapatkan pada pasien dengan impetigo herpetiformis, satu entiti yang didefinisikan oleh sebagian peneliti sebagai variasi dari tipe psoriasis pustulosa yang terjadi semasa tempoh kehamilan. Onsetnya pada kehamilan adalah ketika trimester ketiga dan berlangsung terus sehingga waktu melahirkan . Tipe ini cenderung terjadi lebih awal pada kehamilan yang berikutnya. Impetigo herpetiformis juga sering dikaitkan dengan keadaan hipokalemia. Biasanya tidak didapatkan sebarang riwayat psoriasis baik pada penderita maupun keluarga.

Variasi Psoriasis Pustulosa Terlokalisasi
Variasi psoriasis pustulosa terlokalisasi, termasuklah psoriasis pustulosa palmaris et. plantaris dan akrodermatitis kontinua (dari Hallopeu).

Sebopsoriasis
Merupakan bentuk klinis yang sering didapatkan, sebopsoriasis memberikan presentasi plak eritematous dengan skuama mengkilat yang terlokalisasi pada area seboroik (kulit kepala, glabella, lipatan nasolabial, area perioral dan presternal, dan area intertriginous. Sukar untuk membedakan tipe ini dengan dermatitis seboroika oleh karena sukar didapatkan temuan tipikal dari psoriasis. Sebopsoriasis bisa menyerupai suatu modifikasi dari dermatitis seboroika dari latar belakang genetik dan secara relatif resistan terhadap pengobatan. Pengobatan dengan menggunakan agen antifungal adalah berguna walaupun diagnosa dengan kausa Pityrosporum belum ditegakkan.

Psoriasis Napkin
Psoriasis Napkin biasanya bermula antara usia 3 sehingga 6 bulan dan pertamanya muncul pada area pemakaian popok (napkin) sebagai area konfluen yang merah dan diikuti oleh adanya papul merah kecil pada area trukus sehingga ekstremitas beberapa hari berikutnya. Papul-papul ini juga mempunyai skuama putih tipikal seperti pada psoriasis. Area muka juga bisa ikut terlibat dengan erupsi skuama merah. Tidak seperti tipe lain dari psoriasis, bercak ini berespon terhadap pengobatan dan biasanya menghilang apabila anak telah berusia 1 tahun.

Psoriasis Linear
Psoriasis linear merupakan suatu bentuk psoriasis yang jarang ditenukan Lesi psoriatik tampak sebagai lesi linear terutama pada ekstremitas tetapi bisa juga terlimitasi pada kulit bagian trunkus. Ini bisa jadi nevus yang tertutupi, kemungkinan nevus epidermal verukous linear (ILVEN), oleh karena lesi ini menyerupai psoriasis linear baik secara klinikal dan histologi. Adanya bentuk linear dari psoriasis yang berbeda dari ILVEN adalah masih kontroversi.

Penemuan Fisik yang Berkaitan
Perubahan kuku dalam Psoriasis
Perubahan kuku adalah sering dalam psoriasis, ditemukan sehingga hampir 40% dari pasien, juga sering ditemukan pada penyakit kulit lainnya. Keterlibatan kuku meningkat dengan usia, dengan durasi dan proses penyakit, dengan adanya psoriatic arthritis. Beberapa perubahan nyata telah dideskripsikan dan bisa dikelompokkan mengikut porsi kuku yang terkena (tabel 18-1).




Tabel 18-1
Perubahan kuku pada Psoriasis
Segmen kuku yang terlibat Tanda Klinikal
Matriks proksimal Pit, onikoreksis, garis Beau’s
Matriks intermediat Leukonikia
Matriks distal Onikolisis fokal, penipisan kuku, eritema pada lunula
Permukaan kulit di bawah kuku Tanda ‘tetes minyak’ atau ‘bercak salmon’, hiperkeratosis subungal, onikolisis, perdarahan splint.
Hiponikium hiperkeratosis subungal, onikolisis
Permukaan kuku Reput atau destruksi dengan perubahan sekunder lainnya pada lokasi spesifik
Lipatan proksimal dan lateral kuku Psoriasis kutaneous
Pit pada kuku merupakan ciri yang paling sering ditemukan pada psoriasis, sering melibatkan jari-jari tangan berbanding jari kaki (gambar 18-16). Ukuran pits bisa bervariasi dari 0.5 sehingga 2.0 mm dan bisa jadi tunggal atau multipel. Matriks kuku proksimal membentuk porsi dorsal (superfisial) dari permukaan kuku, dan keterlibatan psoriatik pada region ini mengakibatkan terjadinya pits oleh karena keratinisasi defektif. Alterasi lain pada matriks kuku mengakibatkan deformitas pada kuku (onikodistrofi) termasuklah leukonikia, kuku reput, dan bintik merah pada lunula. Onikodistrofi mempunyai hubungan yang kuat dengan psoriatic arthritis berbanding dengan perubahan lainnya pada kuku. Bintik minyak dan bercak salmon adalah tranlusen, diskolorasi bewarna kuning-merah diperhatikan dibawah dari permukaan kuku sering meluas dari distal ke hiponikium, oleh karena hiperplasia psoriasiform, parakeratosis, perubahan mikrovaskular, dan terperangkapnya neutrofil dibawah permukaan kuku. Berbeda dengan pits, yang juga bisa dilihat pada alopecia areata dan diskolorasi lainnya, bintik minyak dipikirkan merupakan cirri yang hamper spesifik untuk psoriasis. Perdarahan splint diakibatkan oleh perdarahan kapiler dibawah permukaan suprapapiler yang tipis pada permukaan kuku yang psoriatik. Hiperkeratosis subungual adalah karena hiperkeratosis pada permukaan kuku dan sering bersamaan dengan onikolisis (kuku dari jari) terutamana melibatkan aspek distal dari kuku. Anonikia merupakan pemisahan total kuku jari. Walaupun perubahan kuku jarang ditemukan pada variasi dari pustulosis palmaris et plantaris, anonikia bisa dilihat pada dalam bentuk psoriasis pustulosa lainnya.












Gambar 18-16. Psoriasis kuku. Panel A menunjukkan onikolisis distal dan spot ‘tetes minyak’. Panel B menunjukkan onikolisis distal, diskolorasi bercak salmon, dan pits.Panel C menunjukkan perdarahan splint dan pits.Panel D menunjukkan

Lidah Geografis
Lidah Geografis, juga turut dikenal sebagai benign migratory glossitis atau glossitis area migrans, merupakan kelainan inflamator yang idiopatik yang mengakibatkan hilangnya papillae filiformis lokal. Kondisi ini biasanya memberikan presentasi sebagai bercak eritematous yang asimptomatik dengan batas yang bergelombang, menyerupai sebuah peta. Lesi ini mempunyai karakteristik sifat yang bermigrasi. Lidah geografis telah dipostulasikan untuk menjadi salah satu variasi oral dari psoriasis, oleh karena lesi ini menunjukkan beberapa ciri histologik dari psoriasis, termasuk akantosis, clubbing dari batas ridge, parakeratosis fokal, dan infiltrasi neutrofilik. Tambahan terdapat prevalensi dari lidah geografis yang meningkat pada pasien psoriatik. Tetapi, lidah geografis merupakan kondisi yang sering didapatkan dan juga bisa dilihat pada individu tanpa psoriasis, maka hubungannya dengan psoriasis harus diklarifikasikan lebih lanjut.

Psoriasis Arthritis
Arthritis merupakan manifestasi ekstra kutaneous yang sering didapatkan dari psoriasis dan didapatkan pada hampir 40% pasien. Ia mempunyai komponen genetik yang kuat dan terdapat beberapa subtipe yang sama.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Walaupun pemeriksaan laboratorium jarang diperlukan untuk menegakkan diagnosa, namun ini sangat membantu dalam kasus yang sukar.Temuan histologik dari psoriasis gutata dan psoriasis plak kronis telah diterangkan (lihat perkembangan dari lesi). Pada awal perkembangan lesi dari tipe psoriasis pustulosa, epidermis hanya mengalami sedikit akantosis, manakala psoriasis membentuk hiperplasia yang bisa ditemukan pada lesi lama dan persisten. Migrasi neutrofil dari pembuluh darah yang dilatasi pada dermis atas ke dalam permukaan epidermis yang mana mereka beragregasi di bawah stratum korneum dan ke lapisan Malphigian atas untuk membentuk pustulosa spongioform dari Kogoj.
Abnormalitas lainnya yang bisa ditemukan pada pemeriksaan laboratorium dari psoriasis adalah tidak spesifik dan kadang tidak ditemukan pada semua pasien. Pada pasien dengan psoriasis vulgaris berat, psoriasis pustulosa yang meluas, dan eritroderma, dan sisa nitrogen negative bisa terdeteksi, bermanifestasi sebagai penurunan dari serum albumin.
Pasien dengan psoriasis mempunyai manifestasi perubahan profil lipid, walaupun ketika onset dari penyakit kulit mereka. Pasien mempunyai peningkatan sehingga 15% kadar dari lipoprotein densitas-tinggi,dan perbandingan kolesterol-trigliserida untuk partikel lipoprotein densitas-rendah meningkat sehingga 19%. Selanjutnya, konsentrasi plasma apolipoprotein-A1 adalah lebih tinggi sehingga 11% pada pasien psoriasis. Apakah perbedaan pada profil lipid ini bisa menerangkan atau mengkontribusi kepada peningkatan kejadian kardiovaskuler pada psoriasis masih dalam penelitian.
Serum asam urat meningkat sehingga 50% dari pasien dan terutamanya berhubung dengan luasnya lesi dan aktivitas penyakit. Terdapat peningkatan resiko mendapat gout arthritis. Serum asam urat biasanya kembali normal setelah terapi.
Marker dari inflamasi sistemik bisa meningkat termasuklah, protein C-reaktif, α2-makroglobulin, dan kadar sedimen eritrosit. Tetapi peningkatan tersebut jarang didapatkan pada psoriasis plak kronis tanpa komplikasi arthritis. Peningkatan kadar serum immunoglobulin (Ig) A dan kompleks imun Ig A, juga amiloidosis sekunder telah diperhatikan dalam psoriasis, dan yang terakhir mempunyai prognosis yang buruk.

Uji Laboratorium
Walaupun pemeriksaan histopatologi jarang diperlukan untuk menegakkan diagnosis, namun bisa membantu pada kasus-kasus yang sulit. Temuan histopatologi dari psoriasis guta dan psoriasis plak kronis telah ditemukan (lihat Perkembangan Lesi). Pada awal-awal lesi psoriasis pustular, epidermis biasanya hanya sedikit mengalami akantosis, sedangkan hiperplasia psoriasiformis ditemukan pada lesi yang sudah lama dan persisten. Neutrofil bermigrasi dari pembuluh-pembuluh yang membesar dalam dermis atas ke dalam epidermis dimana mereka berkumpul di bawah stratum korneum dan dalam lapisan Malphigian atas untuk membentuk pustula-pustula spongiformis Kogoj.
Kelainan-kelainan laboratorium lainnya pada psoriasis biasanya tidak spesifik dan mungkin tidak ditemukan pada semua pasien. Pada psoriasis vulgaris yang parah, psoriasis pustular menyeluruh, dan eritroderma, sebuah keseimbangan nitrogen negatif bisa dideteksi, dimanifestasikan oleh penurunan albumin serum.
Pasien-pasien psoriasis memanifestasikan profil-profil lipid yang berubah, bahkan pada onset penyakit kulitnya. Pasien memiliki kadar protein berkepadatan-tinggi yang 15% lebih tinggi, dan rasio kolesterol-trigliserida untuk partikel-partikel lipoprotein berkepadatan rendah adalah 19% lebih tinggi. Lebih lanjut, konsentrasi apolipoprotein-A1 plasma 11% lebih tinggi pada pasien-pasien psoriasis. Apakah perbedaan-perbedaan profil lipid ini bisa menjelaskan atau berkontribusi terhadap kejadian insiden kardiovaskular yang meningkat masih perlu diteliti.
Asam urat serum meningkat pada hingga 50% pasien dan utamanya terkait dengan luasan lesi dan aktivitas penyakit. Ada risiko yang meningkat untuk mengalami arhritis gouty. Kadar asam urat serum biasanya kembali normal setelah terapi.
Penanda inflamasi sistemik bisa meningkat, termasuk protein C-reaktif, α2-makroglobulin, dan laju pengendapan eritrosit. Akan tetapi, peningkatan-peningkatan seperti ini jarang pada psoriasis plak kronis yang tidak diperparah oleh arthritis. Kadar imunoglobulin (Ig) A yang meningkat dan kompleks imun IgA, serta amiloidosis sekunder, juga telah diamati pada psoriasis, dan yang terakhir membawa prognosis buruk.

Uji-Uji Khusus
Teknik-teknik imunostaining, pemilahan sel teraktivasi fluoresensi untuk suspensi-suspensi sel yang terdisosiasi, dan penilaian penataan ulang gen reseptor sel T memiliki peranan penting dalam penyelidikan patogenesis psoriasis dan dalam menentukan respons terhadap terapi-terapi anti-psoriatik, tetapi pada umumnya tidak diperlukan untuk diagnosis atau penatalaksanaan.


DIAGNOSIS BANDING

Psoriasis Vulgaris
Sangat mirip
 Eczema diskoid/mummular
 Limfoma sel-T kutaneous (CTCL)
 Tinea corporis
Pertimbangkan
 Pityriasis rubra pilaris
 Dermatitis seboroik
 Lupus eritematous kutaneous subakut
 Eritrokeeratoderma (plak-plak keratoderma variabilis dan/atau eritrokeratoderma simetris progresif)
 Nevus epidermal verukosa linear inflammatory
 Lichen planus hipertropi
 Dermatitis kontak
 Lupus eritematosus kronis/lupus eritematosus diskoid
 Penyakit Hailey-Hailey (fleksural)
 Intertrigo (fleksural)
 infeksi Candida (fleksural)
Selalu pastikan tidak terdapat:
 Penyakit bowen/karsinoma sel skuamus in situ
 penyakit Paget ekstrammary

Psoriasis Guta
Sangat mirip
 Pityriasis rosea
 Pityriasis lichenoides chronica
 Lichen planus
Pertimbangkan
 Parapsoriasis plak kecil
 PLEVA
 Lichen planus
 Erupsi akibat obat
Selalu pastikan tidak terdapat:
 Syphilis sekunder
Psoriasis Eritrodermi
Sangat mirip
 Eritoderma diakibatkan obat
 Eczema
 CTCL/sindrom Sezary
 Pityriasis rubra pilaris

Pustular
Sangat mirip
 Impetigo
 Candidiasis superfisial
 Sindrom arthritis reaktif
 Folikulitis superfisial
Pertimbangkan
 Pemfigus folaceous
 Pemfigus A imunoglobulin
 Penyakit Sneddon-Wilkison (dermatosis pustular sub-kornea)
 Eritema nekrolitik migratory
 Melanosis pustular neonatal sementara
 Akropustulosis bayi
 Pustulosis eksantematosa menyeluruh akut


KOMPLIKASI
Pasien-pasien yang mengalami psoriasis memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang meningkat akibat insiden-insiden kardiovaskular, khususnya yang terjadi pada penyakit kulit psoriasis yang parah dan berdurasi lama.
Pasien-pasien psoriasis juga telah dibuktikan memiliki resiko limfoma yang relatif meningkat, khususnya pada pasien-pasien yang memiliki psoriasis parah.
Psoriasis memberikan gangguan emosional, dan menimbulkan gangguan-gangguan psikologis yang signifikan. Kesulitan-kesulitan emosional muncul dari kekhawatiran terhadap penampilan, yang menghasilkan berkurangnya kepercayaan diri, penolakan sosial, rasa bersalah, merasa malu, merasa tidak berharga, masalah seksual, dan gangguan kemampuan profesional. Keberadaan pruritus dan nyeri bisa memperburuk gejala-gejala ini. Aspek-aspek psikologis bisa merubah perjalanan penyakit; khususnya, merasa ternoda bisa mengarah pada tidak terpenuhinya perawatan dan memburuknya psoriasis. Demikian juga, tekanan psikologis bisa menyebabkan depresi dan rasa cemas. Prevalensi hasrat hendak bunuh diri dan depresi pada pasien psoriasis lebih tinggi dibandingkan yang dilaporkan pada kondisi-kondisi medis lain dan populasi umum. Sehingga, walaupun penyakit ini tidak mengancam nyawa dengan sendirinya, psoriasis bisa sangat mengganggu kualitas hidup. Sebuah penelitian komparatif melaporkan pengurangan fungsi fisik dan mental yang sebanding dengan yang terlihat pada kanker, arthritis, hipertensi, penyakit jantung, diabetes, dan depresi. Menurut survei terbaru, 79 persen pasien yang mengalami psoriasis parah melaporkan dampak negatif terhadap kehidupan mereka.






PROGNOSIS DAN PERJALANAN KLINIS
Riwayat Alami
Psoriasis gutata sering merupakan penyakit yang terbatas dengan sendirinya, berlangsung mulai dari 12 hingga 16 pekan tanpa diperlukan pengobatan. Telah diperkirakan bahwa sepertiga hingga dua per tiga dari pasien-pasien ini selanjutnya mengalami psoriasis tipe plak kronis. Berbeda dengan itu, psoriasis plak kronis pada kebanyakan kasus merupakan penyakit yang lama di derita, bermanifestasi pada interval-interval yang tidak dapat diprediksi. Remisi spontan, yang berlangsung selama periode waktu yang bervariasi, bisa terjadi selama perjalanan psoriasis pada hingga 50% pasien. Durasi remisi berkisar antara 1 tahun sampai beberapa puluh tahun. Pada dua penelitian terpisah, remisi berkisar antara 17% sampai 55%. Pada penelitian lain terhadap pasien selama 21 tahun, 71% memiliki lesi persisten, 13% bebas dari penyakit, dan 16% memiliki lesi yang sesekali muncul. Penyebab remisi spontan belum diketahui, tetapi bisa menunjukkan pembentukan toleransi sendiri yang berhasil pada model reaktifitas-diri imunologik.
Psoriasis pustular eritrodermi dan menyeluruh memiliki prognosis yang lebih buruk, dengan penyakit yang cenderung parah dan persisten.

Faktor-Faktor Pemodifikasi
Obesitas. Telah dibuktikan bahwa orang gemuk lebih besar kemungkinannya mengalami psoriasis parah (ditentukan sebagai > 20% keterlibatan area permukaan tubuh). Akan tetapi, obesitas tidak tampak memiliki peranan dalam menentukan onset psoriasis.
Merokok. Merokok (lebih dari 20 batang per hari) juga telah ditemukan terkait dengan lebih dari 2 kali lipat peningkatan risiko psoriasis parah. Berbeda dengan obesitas, merokok tampak memiliki peranan dalam onset psoriasis. Baru-baru ini, sebuah interaksi antara gen dan lingkungan telah diidentifikasi antara aktivitas yang rendah dari gen sitokrom P450 CYP1A1 dan merokok pada psoriasis.
Infeksi. Sebuah hubungan antara infeksi kerongkongan akibat stafilokokus dengan psoriasis guta telah dilaporkan. Infeksi kerongkongan akibat stafilokokus juga telah ditunjukkan memperburuk psoriasis plak kronis yang telah ada sebelumnya.
Perburukan parah psoriasis bisa menjadi manifestasi infeksi HIV. Seperti halnya psoriasis secara umum, psoriasis yang terkait HIV memiliki hubungan kuat dengan HLA-Cw6. Menariknya, prevalensi psoriasis pada infeksi HIV tidak lebih tinggi dibanding pada populasi umum (1% berbanding 2% pasien), sehingga menandakan bahwa infeksi ini bukan pemicu untuk psoriasis tetapi justru sebuah agen pemodifikasi. Psoriasis semakin lebih parah dengan perkembangan imunodefisiensi tetapi bisa pulih dalam fase terminal. Perburukan kembali psoriasis ini bisa disebabkan oleh kehilangan sel-sel T regulatori dan aktivitas sub-set sel T CD8 yang meningkat. Perburukan psoriasis pada penyakit HIV bisa diobati secara efektif dengan terapi antiretrovital.
Obat. Obat yang memperburuk psoriasis mencakup antimalaria, penghambat β lithium, obat AINS, IFN-α dan IFN-γ, imiquimoid, inhibitor enzim pengkonversi angiotensin, dan gemfibrozil. Imiquimod bekerja pada pPDC dan menstimulasi produksi IFN-α, yang selanjutnya memperkuat respons imun alami dan Th1. Lithium telah diusulkan menyebabkan perburukan dengan mengganggu pelepasan kalsium dalam keratinosit, sedangkan penghambat β dianggap mengganggu kadar adenosin monofosfat siklik intraseluler. Mekanisme bagaimana obat ini memperburuk psoriasis sebagian besar belum diketahui. Pasien-pasien yang mengalami psoriasis aktif atau psoriasis tidak stabil harus diberikan anjuran-anjuran ketika akan bepergian ke negara-negara dimana profilaksis antimalaria diperlukan.

PENGOBATAN
Pertimbangan-Pertimbangan Umum
Spektrum luas pengobatan anti-psoriatik, baik topikal maupun sistemik, tersedia untuk penatalaksanaan psoriasis. Seperti ditunjukkan pada Tabel 18-2 sampai 18-6, bisa dilihat bahwa kebanyakan atau semua pengobatan ini bersifat imunomodulator. Ketika memilih sebuah resimen pengobatan (lihat Gbr. 18-6) penting untuk memadukan antara luasan dan keparahan penyakit sesuai dengan persepsi pasien terhadap penyakitnya. Dalam konteks ini, sebuah penelitian menemukan bahwa 40% pasien merasa frustrasi dengan ketidakefektifan terapi yang sedang mereka gunakan, dan 32% melaporkan bahwa pengobatan tidak cukup agresif. Karena psoriasis adalah sebuah kondisi kronis, penting untuk mengetahui keamanan sebuah pengobatan selama penggunaan jangka panjang. Pada kebanyakan pengobatan, durasi sebuah pengobatan terbatas karena potensi toksisitas kumulatif dari sebuah pengobatan, dan pada beberapa kasus, efikasi pengobatan bisa berkurang seiring dengan waktu (takifilaksis). Beberapa pengobatan, seperti kalsipotriol, MTX, dan acitretin, bisa dianggap cocok untuk penggunaan secara kontinyu. Pengobatan ini mempertahankan efikasi dan memiliki potensi toksisitas kumulatif yang rendah. Sebaliknya, kortikosteroid topikal, dithranol, tar, foto(kemo)terapi, dan siklosporin tidak diindikasikan untuk penggunaan lama yang kontinyu, dan pengobatan kombinasi atau rotasional dianjurkan. Akan tetapi, pasien-pasien yang mengalami psoriasis plak kronis yang merespon baik terhadap pengobatan-pengobatan lokal mungkin tidak memerlukan perubahan pengobatan. Pada psoriasis gatal/pruritus, pengobatan dengan obat yang berpotensi menimbulkan iritasi, seperti dithranol, analog-analog vitamin D3, dan foto(kemo)terapi, harus digunakan dengan hati-hati, sedangkan pengobatan dengan efek anti-inflamasi pontesial seperti kortikosteroid topikal, lebih sesuai.
Pada pasien yang mengalami psoriasis eritrodermik dan psoriasis pustular, pengobatan dengan obat yang berpotensi sebagai pengiritasi harus dihindari, dan asitretin, MTX atau siklosporin perjalanan-singkat adalah pengobatan pilihan pertama.
Pengobatan Topikal
Kebanyakan kasus psoriasis diobati secara topikal. Karena pengobatan topikal sering tidak sejalan dari segi kosmetik dan penggunaannya memerlukan banyak waktu, maka ketidakpatuhan terhadap pengobatan biasa mencapai 40%. Pada kebanyakan kasus, formulasi-formulasi salep lebih efektif dibanding krim tetapi kurang diterima secara kosmetik. Bagi banyak pasien, meresepkan formulasi salep dan krim bisa membantu; krim untuk digunakan di pagi hari dan salep untuk di malam hari.
Kortikosteroid. Glukokortikoid menimbulkan banyak atau semua efeknya dengan menstabilkan dan menyebabkan translokasi nuklear reseptor-reseptor glukokortikoid, yang merupakan anggota-anggota dari superfamili reseptor hormon nuklear. Glukokortikoid topikal umumnya merupakan terapi utama pada psoriasis ringan sampai sedang dan pada tempat-tempat seperti fleksur dan genitalia, dimana pengobatan-pengobatan topikal lainnya bisa menimbulkan iritasi. Perbaikan biasanya dicapai dalam 2 hingga 4 minggu, dengan perawatan penjaga yang terdiri dari aplikasi sesekali (sering dibatasi pada akhir-akhir pekan). Takifilaksis terhadap pengobatan dengan kortikosteroid topikal merupakan sebuah fenomena yang telah diketahui dalam psoriasis. Kortikosteroid jangka panjang bisa menyebabkan striae (Gbr. 18-17) dan penekanan adrenal.








Gambar 18-7. Akibat positif dan negatif dari pengobatan psoriasis. Panel A menggambarkan perbaikan psoriasis setelah 10 minggu diterapi dengan infliximab. Panel B menggambarkan perbaikan setelah 28 hari pemakaian siklosporin A. Panel C menggambarkan berkurangnya distrofi kuku setelah 16 minggu penggunaan siklosporin A sebagai terapi. Panel D menggambarkan atrofi yang berat di samping striae setelah beberapa tahun penggunaan terapi dengan topikal steroid krim.

Mekanisme kerja topikal kortikosteroid dengan cara mengikat reseptor glukokortikoid, menghambar transkripsi gen Ap-1 dan NF-κB, termasuk Il-1 dan TNF-ά. Dosis pmberiannya s kali dalam sehari selama 2-4 minggu. Terapi ini sangat efektif bila digunakan dalam waktu singkat. Terapi ini akan mensupresi hipotalamik-pituitari-adrenal (resiko tinggi pada anak-anak), membuat atrofi pidermis dan dermis, striae, dan takifilaksis. Kontraindikasi pengobatan ini adalah hipersensiif terhadap steroid, infeksi kullit aktif. Pengobatan jangka panjang meningkatkan efek simpang. Kategori kehamilan: C.
Vitamin D3 dan Analog-Analognya. Vitamin D menimbulkan aksinya dengan terikat ke reseptor-reseptor vitamin D, anggota superfamili reseptor hormon nuklear. Vitamin D3 beraksi untuk meregulasi pertumbuhan sel, diferensiasi, dan fungsi imun, serta metabolisme kalsium dan fosfor. Vitamin D telah terbukti menghambat proliferasi keratinosit pada kultur dan memodulasi diferensiasi epidermal. Lebih lanjut, vitamin D menghambat produksi beberapa sitokin pro-inflamator melalui klon-klon sel-T psoriatik, termasuk IL-2 dan IFN-γ.
Analog-analog vitamin D yang telah digunakan untuk pegobatan penyakit kulit adalah kalsipotriena, (kalsipotriol), takalsitrol, dan maksakalsitol. Dalam penelitian-penelitian jangka pendek, kortikosteroid topikal potensial ditemukan lebih baik dibanding kalsipotrien. Ketika dibandingkan dengan anthralin kontak-singkat atau 15% coal tar, kalsipotrien merupakan agen yang lebih efektif. Efikasi kalsipotrien berkurang seiring dengan pengobatan jangka panjang. Kalsipotrien 0,005% yang diaplikasikan dua kali sehari lebih efektif dibanding penggunaan sekali sehari. Hiperkalsemia merupakan satu-satunya pertimbangan utama dengan penggunaan preparasi-preparasi vitamin D topikal. Ketika jumlah yang digunakan tidak melebihi yang direkomendaiskan (100 g/minggu), kalsipotrien bisa digunakan dengan batas keamanan yang besar. Analog-analog vitamin D sering digunakan bersama dengan atau silih berganti dengan kortikosteroid topikal dalam upaya untuk memaksimalkan efektifitas terapeutik disamping meminimalisir atropi kulit yang terkait steroid (contoh, vitamin D digunakan hari-hari biasa, dan topikal kortikosteroid pada akhir minggu). Efektifitas meningkat bila dikombinasi dengan topikal kortikosteroid. Bisa dikombinasi dengan berbagai macam terapi. Bisa terjadi iritasi pada kulit yang diobati. Terdapat laporan hiperkalsemia pada pasien dengan penggunaan kalsipotrien dalam jumlah besar. Kontraindikasi penggunaan pengobatan ini pada yang hiperkalsemia dan vitamin D toksisitas. Kalsipotrien ditoleransi dengan baik dan efektif bila digunakan untuk pengobatan jangka panjang, serta efek simpangnya minimal. Kategori kehamilan: C.
Anthralin (Dithranol). Dithranol (1,8-dihidroksi-9-anthron) merupakan sebuah zat alami yang ditemukan pada kulit batang pohon araboba di Amerika Selatan. Zat ini juga bisa disintesis dari anthron. Dithranol terdapat dalam krim, salep, atau pasta. Dithranol disetujui untuk pengobatan psoriasis plak kronis. Kegunaannya yang paling umum adalah dalam pengobatan psoriasis, khususnya pada plak yang kebal terhadap terapi-terapi lain. Obat ini bisa dikombinasikan fototerapi UVB dengan hasil yang baik (resimen dalam gram). Efek samping yang paling umum adalah dermatitis kontak pengiritasi dan noda pada pakaian, kulit, rambut, dan kuku. Anthralin memiliki aktivitas antiproliferatif pada keratinosit-keratinosit manusia bersama dengan efek-efek antiinflammatory potensial. Terapi anthralin klasik dimulai dengan konsentrasi rendah (0,05% sampai 0,1%) yang dimasukkan dalam petrolatum atau pasta zink dan diberikan satu kali sehari. Untuk mencegah auto-oksidan, asam salisilat (1% sampai 2%) harus ditambahkan. Konsentrasi ini ditingkatkan setiap pekan dengan peningkatan yang disesuaikan individu masing-masing hingga sampai 4% sampai lesi sembuh. Psoriasis kulit kepala harus diobati dengan sangat hati-hati karena karena anthralin bisa merubah warna rambut menjadi ungu atau hijau.
Coal Tar. Penggunaan tar untuk mengobati penyakit-penyakit kulit telah ada hampir sekitar 2000 tahun. Pada tahun 1925, Coeckerman memperkenalkan penggunaan coal tar mentah dan sinar UV untuk pengobatan psoriasis. Tar tampaknya menimbulkan aksinya melalui penekanan sintesis DNA dan pengurangan aktivitas mitotik dalam lapisan basal epidermis, dan beberapa komponen pada tar tampaknya memiliki aktivitas anti-inflamasi. Coal tar, dengan konsentrasi hingga 20% (5% sampai 30%) bisa disenyawakan dengan krim, salep, dan pasta. Coal tar juga sering dikombinasikan dengan asam salisilat (2% hingga 5%), yang melalui aksi keratolitiknya menyebabkan absorpsi coal tar secara lebih baik. Terkadang, pasien menjadi sensitif terhadap coal tar dan mengalami reaksi-reaksi alergi. Folikulitis bisa terjadi setelah penggunaan coal tar. Terkadang, pasien menjadi sensitif terhadap coal tar dan mengalami reaksi-reaksi alergi. Sebuah folikulitis bisa terjadi setelah penggunaan coal tar. Lebih lanjut, obat ini memiliki bau yang kurang menyenangkan penampilan dan bisa menodai pakaian dan item-item lain. Coal tar bersifat karsinogenik.
Tazaroten. Tazaroten merupakan sebuah retinoid generasi ketiga untuk penggunaan topikal yang kerjanya mengurangi skuama dan ketebalan plak, dengan efektifitas yang terbatas pada eritema. Obat ini dianggap bekerja dengan terikat ke reseptor-reseptor asam retinoat, tetapi target-target molekulernya belum diketahui. Mekanisme obat ini dengan cara menormalkan diferensiasi epidermal, efek antiproliferatif poten, dan menurunkan proliferasi epidermal. Obat ini tersedia dalam bentuk gel 0,05% dan 0,1%, dan sebuah formulasi krim telah dikembangkan. Aplikasikan setiap malam pada daerah lesi. Apabila obat ini digunakan sebagai sebuah monoterapi, banyak pasien yang mengalami iritasi lokal. Dermatitis retinoid ini lebih buruk dengan formulasi 0,1%. Efikasi obat ini bisa ditingkatkan dengan mengkombinasikannya dengan glukokortikoid potensi sedang sampai tinggi atau fototerapi UVB. Ketika digunakan bersama dengan fototerapi, obat ini mengurangi dosis eritema minimal (MED) untuk UVB maupun UVA. Telah dianjurkan bahwa UV dikurangi sebesar sekurang-kurangnya sepertiga jika tazaroten ditambahkan dalam pertengahan perjalanan fototerapi. Kombinasi zaroten bisa mengurangi atrofi karena penggunaan kortikosteroid. Kontraindikasinya pada kehamilan, dan hipersensitif terhadap tazaroten. Kategori kehamilan: X
Inhibitor Kalsineurin Topikal. Takrolimus (FK-506) merupakan sebuah antibiotik antimakrolida, yang didapatkan dari bakteri Streptomyces isukubaensis yang, dengan terikat ke imunofilin (protein pengikat TK506). Membentuk sebuah kompleks yang berikatan dengan protein FK-506 dan menghambat kalsineurin, menurunkan aktivasi faktor transkripsi, NF-AT sehingga memblokir transduksi sinyal limfosit-T dan transkripsi IL-2. Pimecrolimus juga merupakan sebuah inhibitor kalsineurin dan bekerja dengan mekanisme yang mirip dengan takrolimus dan CsA.
Pada sebuah penelitian terhadap 70 pasien yang mengalami psoriasis plak kronis yang diobati dengan takrolimus, tidak ada perbaikan yang ditemukan untuk plasebo. Akan tetapi, untuk pengobatan psoriasis inverse dan psoriasis fasial, agen-agen ini tampaknya memberikan pengobatan yang efektif. Aplikasikan trakolimus 2 kali sehari. Efek samping utama dari obat-obat ini adalah sensasi luka bakar pada tempat pengaplikasian. Laporan-laporan tentang adanya keganasan kulit atau kelenjar getah bening memerlukan evaluasi lebih lanjut dalam penelitian-penelitian terkontrol, dan obat-obat ini telah diperingatkan penggunaannya oleh FDA. Boleh digunakan pada anak-anak di bawah 2 tahun dengan pengawasan. Kategor kehamilan: C.
Emolien Lunak. Diantara periode-periode pengobatan, perawatan kulit dengan emolien harus dilakukan untuk menghindari kekeringan. Emolien mengurangi skuama, bisa membatasi pembentuk fisur yang terasa nyeri, dan bisa membantu mengontrol pruritus. Emolien paling baik diaplikasikan segera setelah mandi. Penambahan urea (hingga sampai 10%) cukup membantu untuk memperbaiki hidrasi kulit dan menghilangkan scaling dari lesi-lesi awal. Penggunaan emolien lunak liberal pada sebuah lapisan tipis pengobatan resep topikal dapat memperbaiki hidrasi disamping meminimalkan biaya pengobatan.

Fototerapi
Mekanisme aksi fototerapi tampaknya melibatkan penipisan selektif sel-sel T, utamanya yang tinggal dalam epidermis. Mekanisme penipisan tampak melibatkan apoptosis dan disertai dengan pergeseran dari respons imun Th1 menuju respons Th2 pada kulit berlesi.
Sinar Ultraviolet B (290 – 320 nm). Dosis UVB terapeutik awal berkisar antara 50% hingga 75% MED. Pengobatan diberikan 2 sampai 5 kali per pekan. Lesi dilubrikasi terlebih dahulu sebelum penyinaran. Ketika eritema UVB puncak muncul dalam waktu 24 jam setelah keterpaparan, penambahan bisa dilakukan pada masing-masing pengobatan selanjutnya. Tujuannya adalah untuk mempertahankan dan eritema seminimal mungkin yang dapat dilihat sebagai indikator klinis pemberian dosis optimal. Pengobatan-pengobatan diberikan sampai penyembuhan total dicapai atau sampai tidak ada lagi perbaikan yang bisa didapatkan dengan pengobatan kontinyu. Penyinaran ditujukan untuk mengurangi lesi setidaknya 10% dari MED. Tipe kulit I-III 10%-15%, tipe kulit IV-VI 15%-20%).
Fototerapi berkas sempit (312 nm) UVB (NB-UVB) lebih baik dibanding UVB berkas-lebar konvensional (290 sampai 320 nm) dalam hal pembersihan dan waktu penyembuhan. Walaupun penelitian-penelitian awal menemukan NB-UVB sama efektifnya dengan psoralen dan sinar UVA (PUVA), sebuah penelitian terkontrol terbaru menemukan bahwa PUVA lebih efektif, meskipun kurang nyaman. Pada saat pembersihan, pengobatan dihentikan atau pasien menjalani terapi penjagaan selama 1 hingga 2 bulan. Selama periode ini, frekuensi pengobatan UVB dikurangi disamping mempertahankan dosis terakhir yang diberikan pada saat pembersihan dicapai. NB-UVB dapat menimbulkan photodamage, polimorphic light eruption, meningkatkan resiko penuaan dini dan resiko keganasan kulit walaupun kejadiannya lebih rendah dari PUVA).
Kontraindikasi absolut pada kelainan fotosensitivitas. Kontraindikasi relatif adaah obata-obatan fotosensitizer, melanoma, dan kanker non melanoma. Obat-obat sistemik, seperti retinoid, meningkatkan efikasi sinar UVB, khususnya ada pasien yang mengalami psoriasis tipe-plak hiperkeratosis dan kronis. Karena ini diketahui menghambat karsinogenesis pada hewan-hewan eksperimental, maka retinoid kemungkinan bisa mengurangi potensi karsinogenik dari fototerapi UVB. NB-UVB efektif sebagai monoterapi, tapi coal tar (Goekermean regimen), anthralin (Ingram regimen), atau terapi sistemik dapat meningkatkan efektivitas pada kasus yang resisten.
Psoralen dan Sinar Ultraviolet A. PUVA merupakan kombinasi antara psoralen (P) dan radiasi ultraviolet A gelombang panjang (UVA). Kombinasi obat dan radiasi menghasilkan efek terapeutik, yang dapat dicapai jika kedua komponen ini digunakan sendiri-sendiri. Remisi ditimbulkan oleh reaksi fototoksik terkontrol yang berulang. Terapi PUVA dapat dipakai 2 kali dalam seminggu. Dapat menimbulkan remisis pada 70-90% pasien. Lebih tidak nyaman dibanding NB-UVB tapi diperkirakan PUVA lebih efektif. PUVA dapat menimbulkan photodamage, penuaan dini, meningkatkan resiko kanker kulit seperti melanoma dan non-melanoma, kerusakan mata. Diperlukan proteksi mata bila menggunakan terapi oral psoralen. Kontraindikasi absolut: kelainan sensitisasi cahaya, laktasi, dan melanoma. Kontraindikasi relatif: usia < 10 tahun, kehamilan, obat-obatan fotosensitisasi, kanker kulit non-melanoma, disfungsi organ yang berat. Kombinasi dengan retinoid oral dapat mengurangi efek kumulasi paparan UVA.
Laser Eksimer.. Energi radiasi supraeritemogenik dari UVB dan PUVA diketahui menghasilkan pembersihan psoriasis yang lebih cepat, akan tetapi, faktor kendala untuk penggunaan energi radiasi yang tinggi seperti ini adalah intoleransi kulit sekitar yang terlibat karena lesi-lesi psoriasis sering bisa tidak mempan terhadap keterpaparan UV yang jauh lebih tinggi. Laser eksimer monokromatis 308 nm bisa menyalurkan dosis-dosis cahaya supra-eritemogenik seperti ini (hingga sampai 6 MED, biasanya dalam rentang 2 sampai 6 MED) secara fokal ke kulit lesi. Pada sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 124 pasien, 72% subjek penelitian mencapai sekurang-kurangnya 75% pembersihan dengan rata-rata 62 pengobatan yang diberikan 2 kali seminggu. Peranan pengobatan ini tampaknya harus diindikasikan untuk pasien yang memiliki plak-plak membandel stabil khususnya pada daerah siku dan daerah lutut. Dengan laser, terjadi 75% perbaikan pada daerah psoriasis dan indeks keparahan dari 72% pasien. Dapat menimbuilkan eritema, bula, hiperpigmentasi, dan erosi. Efek simpang jangka panjang beum diketahui tapi kemungkinan efek simpangnya seperti NB-UVB.
Pengobatan Fotodinamik. Terapi fotodinamik telah dicoba untuk beberapa dermatosa inflamatori, termasuk psoriasis. Pada sebuah penelitian acak tentang efek terapi fotodinamik berbasis asam aminolevulinat, 29 pasien menunjukkan respons klinik yang tidak memuaskan dan kejadian nyeri yang sering selama dan setelah pengobatan, sehingga para peneliti menganggap pengobatan ini tidak cocok untuk psoriasis.
Terapi Klimatik. Telah diketahui bahwa beraktivitas di bawah cuaca panas bisa memulihkan psoriasis, walaupun ada sedikit pasien yang justru semakin buruk kondisinya. Pasien harus diperingatkan untuk tidak memaparkan diri mereka secara berlebihan pada beberapa hari pertama, karena sunburn bisa berkembang menjadi psoriasis (fenomena Koebner). Efek-efek yang telah diteliti dengan baik adalah di daerah Laut Mati, dan efek-efek terapeutik ini bisa dikaitkan dengan lokasinya. Karena terletak 400 m di bawah permukaan laut, evaporasi laut membentuk sebuah aerosol yang tinggal di atmosfir di atas laut dan pantai-pantai di sekitarnya. Aerosol ini menyaring kebanyakan sinar UVB tetapi tidak UVA. Campuran sinar UV ini tampaknya sudah cukup untuk membersihkan psoriasis tetapi tanpa sunburn. Sehingga, pasien bisa tinggal di pantai-pantai Laut Mati selama periode waktu yang lama dengan risiko sunburn yang sangat berkurang. Pengobatan ini dilakukan selama periode 3 hingga 4 pekan, dan perbaikan yang sebanding dengan pengobatan NB-UVB atau PUVA bisa diperoleh. Kekurangan utamanya adalah waktu dan biaya.

Agen-Agen Oral Sistemik
Metotreksat. MTX sangat efektif untuk psoriasis plak kronis dan juga diindikasikan untuk penanganan psoriasis yang parah dalam jangka panjang, seperti eritroderma psoriatik dan psoriasis pustular. Ketika pertama kali digunakan untuk pengobatan psoriasis, MTX dianggap bekerja secara langsung untuk menghambat hiperproliferasi epidermal melalui inhibisi dihidrofolat reduktase (DHFR). Akan tetapi, obat ini telah ditemukan efektif pada dosis yang jauh lebih rendah (0,1 sampai 0,3 mg/kg per pekan) dalam penatalaksanaan psoriasis, arthritis psoriatik, dan kondisi-kondisi inflamasi lainnya seperti arthritis rheumatoid. Pada konsentrasi-konsentrasi ini, MTX menghambat proliferasi limfosit-limfosit in vitro, tetapi tidak menghambat proliferasi proliferasi keratinosit. Sekarang diduga bahwa penghambatan DHFR bukan mekanisme utama dari aksi anti-inflammatory MTX, tetapi justru inhibisi sebuah enzim yang terlibat dalam metabolisme purin [AICAR (5-aminoimidazol-4-karbokamida ribonukleotida) transformylase]. Ini mengarah pada akumulasi adenosin ekstraseluler, yang memiliki aktivitas anti-inflammatory potensial, khususnya untuk neutrofil-neutrofil. Konsisten dengan mekanisme aksi yang tidak tergantung DHFR, pemberian asam folat yang bersamaan (1 sampai 5 mg/hari mengurangi efek samping tertentu, seperti nausea dan anemia megaloblastis, tanpa mengurangi efikasi pengobatan antipsoriatik. Target-target seluler dari aksi MTX pada psoriasis masih sedang diteliti, tetapi mekanisme aksinya bisa melibatkan modulasi molekul-molekul adhesi, seperti molekul adhesi interseluler 1, dan bukan induksi apoptosis imfosit.
Waktu paruh sangat lama yang dimiliki MTX bisa mewakili efikasinya setelah pemberian tiap pekan dan juga bisa membantu menjelaskan mengapa onset aksinya agak lambat (efek terapeutik biasanya memerlukan waktu 4 sampai 8 pekan untuk bisa terlihat). MTX diekskresikan lewat ginjal dan dengan demikian tidak boleh diberikan ke pada pasien pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal, karena efek samping MTX pada umumnya terkait dengan dosis. Dosis awal 2,5 mg dan dapat ditingkatkan samapai dicapai level terapeutik (peningkatan 10-15 mg setiap minggunya, maksimal 25-30 mg setiap minggunya).
Pada kebanyakan panduan-panduan terbaru, pasien-pasien yang memiliki uji fungsi hati normal dan tidak memiliki riwayat penyakit hati atau alkoholisme, tidak diminta untuk menjalani biopsi hati sampai mereka telah diobati dengan dosis MTX kumulatif 1,0 sampai 1,5 g. Biopsi-biopsi berulang dilakukan sekitar 1,0 sampai 1,5 g. Biopsi-biopsi berulang sesudah itu jika uji fungsi hati dan temuan biopsi cukup normal. Beberapa kelompok telah merekomendasikan penggunaan uji PIIINP (amino terminal peptida prokolagen tipe III) untuk skrining fibrosis hati. Panduan-panduan spesifik telah dibuat untuk pemantauan kadar PIIINP pada pasien-pasien psoriasis, tetapi FDA belum menyetujui penggunaan uji ini untuk kegunaan diagnostik di Amerika Serikat.
Efek samping yang telah diketahui lainnya dari MTX adalah mielosupresi, khususnya pansitopenia, yang biasanya terjadi apabila pasien kekurangan folat. Selain itu MTX juga dapat menimbulkan hepatotoksisitas, abnormalitas lipid, abnormalitas janin atau kematian janin, mukokutan toksisitas, dan hiperostosis. Kalsium leukovorin (asam folinat) merupakan satu-satunya antidot untuk toksisitas hematologik dari MTX. Ketika overdosis diduga, dosis leukovorin langsung sebanyak 20 mg harus diberikan secara parenteral atau secara oral, dan selanjutnya harus diberikan setiap 6 jam. Pneumonitis bisa terjadi, dan ulserasi mukosa dan oral juga telah dilaporkan pada pasien-pasien yang diobati dengan MTX.
Penghentian pengobatan MTX diperlukan apabila terdapat hepatotoksisitas, supresi hematopoietik, infeksi aktif, nanusea, dan pneumonitis. MTX juga bersifat teratogenik dan dengan demikian tidak boleh diresepkan untuk wanita yang hamil. Beberapa golongan obat, termasuk obat-obatan AINS dan sulfonamida, bisa berinteraksi dengan MTX untuk meningkatkan toksisitas.
Asitresin. Asitresin merupakan sebuah retinoid sistemik generasi kedua yang telah disetujui untuk pengobatan psoriasis sejak 1997.
Bentuk-bentuk klinis yang paling responsif terhadap etretinat atau asitretin sebagai monoterapi mencakup psoriasis pustular dan eirtordermis menyeluruh. Asitretin menginduksi pembersihan psoriasis dengan cara yang tergantung dosis. Secara keseluruhan, dosis permulaan yang lebih tinggi tampak membersihkan psoriasis lebih cepat. Mekanisme aksi retinoid untuk psoriasis belum dipahami sepenuhnya.
Dosis awal asitretin yang optimal untuk psoriasis dilaporkan sebesar 25 mg/hari, dengan dosis penjaga 20 hingga 50 mg/hari. Dapat digunakan sebagai monoterapi. Efek-efek berbahaya, seperti kehilangan rambut dan paronichia, termasuk lebih sering dengan dosis awal yang lebih tinggi (yaitu ≥ 50 mg/hari). Kebanyakan pasien sembuh mengalami kekambuhan dalam waktu 2 bulan setelah menghentikan etretinat atua asitretin. Asitretin harus dihentikan jika disfungsi hati, hiperlipidemia, atau hiperostosis idiopati difus terjadi. Penggunaan jangka panjang dikombinasikan dengan PUVA dan kadang dikombinasikan dengan UVB untuk meminimalisasi efek simpang dan meningkatkan efek terapi. Kategori kehamilan: X.
Monitoring laboratorium darah, kadar lipid, dan tes kehamilan, monitor ini diulang setiap minggu selama 1 bulan, setelah itu diperiksa setiap 4 minggu. Tes kehamilan setiap bulannya pada penderita wanita. Rontgen spinal bila ada gejala-gejala yang mengarah ke gangguan tersebut. Kontraindikasi absolut adalah kehamilan selama atau sesudah 3 tahun terminasi asitetrin.
Siklosporin A. CsA merupakan sebuah undekapeptida siklik netral yang didapatkan dari jamur Tolypocladimus inflatum gams. Satu-satunya formulasi yang disetujui untuk pengobatan psoriasis tersedia sebagai larutan oral atau dalam bentuk kapsul. Ini sangat efektif untuk psoriasis kutaneous dan juga bisa efektif untuk psoriasis kuku. CsA khususnya bermanfaat pada pasien-pasien yang mengalami psoriasis eritrodermis inflammatori yang intens atau jelas. Dosis berkisar antara 2 sampai 5 mg/kg/hari. Karena efek nefrotoksik dari CsA sebagian besar bersifat ireversibel, maka pengobatan dengan CsA harus dihentikan jika disfungsi ginjal dan/atau hipertensi terjadi. Hipertensi yang ditimbulkan CsA bisa diobati dengan antagonis-antagonis kalsium seperti nifedipin. Efek berbahaya yang paling umum pada pasien yang menggunakan CsA untuk periode waktu yang singkat adalah efek neurologi, termasuk tremor, sakit kepala, paresthesia, dan/atau hiperestesia. Pengobatan psoriasis jangka panjang dengan CsA dosis rendah ditemukan meningkatkan risiko kanker kulit non-melanoma. Akan tetapi, berbeda pasien-pasien transplan yang diobati dengan dosis CsA yang lebih tinggi, ada sedikit atau tidak ada peningkatan risiko limfoma.
Ester asam fumarat. Asam fumarat pertama kali dilaporkan pada tahun 1959 sebagai zat yang bermanfaat dalam pengobatan psoriasis dan diizinkan di Jerman untuk pengobatan psoriasis. Karena asam fumarat sendiri tidak diserap dengan baik setelah asupan oral. Maka ester digunakan untuk pengobatan. Ester hampir diserap sempurna dalam usus kecil, dan dimetilfumarat dihidrolisis dengan cepat oleh esterase menjadi mono-metilfumarat, yang dianggap sebagai metabolit aktif. Cara kerja ester asam fumarat (FAE) dalam pengobatan psoriasis tidak dipahami sepenuhnya, tetapi data eksperimental menunjuk pada bergesernya respons sel-T yang didominasi Th1 pada psoriasis ke pola mirip Th2 dan inhibisi proliferasi keratinosit. Pasien yang mengalami penyakit kontaminan parah, penyakit kronis pada saluran gastrointestinal, penyakit ginjal kronis, atau penyakit sumsum tulang yang mengarah pada leukositopenia atau disfungsi leukosit, tidak boleh diobati. Demikian juga, wanita hamil atau laktasi dan pasien yang mengalami penyakit ganas (termasuk riwayat keganasan yang positif) tidak boleh diberikan obat ini. Terapi lama (hingga 2 tahun) dalam rangka mencegah kekambuhan pasien-pasien psoriasis yang mengalami aktivitas penyakit tinggi bisa dilakukan. Opsi terapeutik lainnya adalah terapi sesekali dalam jangka pendek. FAE diberikan sampai perbaikan utama dicapai dan kemudian dihentikan. Jika seorang pasien tetap bebas lesi selama pengobatan yang lama, maka dosis FAE harus dikurangi secara perlahan untuk mencapai ambang-batas individual. Terapi dengan FAE bisa dihentikan secara tiba-tiba. Fenomena kekambuhan telah diamati.
Sulfasalazin. Sulfasalazin merupakan sebuah agen sistemik yang umum digunakan dalam penatalaksanaan psoriasis. Dalam satu-satunya penelitian samar-ganda prospektif tentang efikasi sulfasalazin dalam psiriasis, efesek sedang diamati, dimana 41% pasien menunjukkan perbaikan yang signifikan, 41% mengalami peningkatan sedang, dan 10% mengalami perbaikan minimal setelah 8 pekan pengobatan.
Steroid sistemik. Secara umum, steroid-steroid sistemik tidak boleh digunakan dalam perawatan psoriasis secara rutin. Ketika steroid-steroid sistemik digunakan, pembersihan psoriasis berlangsung cepat, tetapi penyakit biasanya memerlukan dosis yang lebih tinggi untuk mengatasi gejala-gejala. Jika penghentian diupayakan, penyakit cenderung kambuh dengan cepat dan bisa muncul lagi dalam bentuk psoriasis eritrodermis dan pustular. Akan tetapi, steroid-steroid sistemik bisa memiliki peranan dalam penatalaksanaan psoriasis, atau eritroderma yang tidak dapat dikontrol dan dalam psoriasis pustular menyeluruh fulminan (tipe von Zumbusch) jika obat lain tidak efektif.
Mofetil mikofenolat. Mofetil mikofenolat merupakan sebuah obat dari kelompok asam mikofenolat, dan merupakan inhibitor inosin-5'-monofosfat dehidrogenase. Asam mikofenolat mengurangi nukleotida guanosin secara preferensial pada limfosit T da B dan menghambat proliferasinya, sehingga menekan respons imun berperantara sel dan pembentukan antibodi. Obat ini biasanya saat ditolerir dengan baik dengan sedikit efek samping. Beberapa penelitian telah dilakukan tentang obat ini untuk psoriasis, tetapi, dalam trial terbuka prospektif terhadap 23 pasien yang diberikan dosis antara 2 sampai 3 g setiap hari, pengurangan Area Psoriasis dan Indeks Keparahan (PASI) dtemukan setelah 6 pekan, dengan perbaikan 47% selama 12 pekan.
6-Tioguanin. 6-tioguanin merupakan sebuah analog purin yang sangat efektif untuk psoriasis. Selain penekanan sumsum tulang, keluhan-keluhan gastrointestinal yang mencakup nausea dan diare bisa terjadi, dan peningkatan uji fungsi hati cukup umum. Contoh penyakit veno-oklusif hepatik yang terisolasi telah dilaporkan.
Hidroksiurea. Hidroksiurea merupakan sebuah metabolit yang telah terbukti efektif sebagai monoterapi, tetapi hampir 50% pasien yang mencapai perbaikan signifikan mengalami toksisitas sumsum tulang disertai leukopenia dan trombositopenia. Anemia megaloblastik juga umum tetapi jarang memerlukan pengobatan. Reaksi-reaksi kutaneous mengenai kebanyakan pasien yang diobati dengan dengan hidroksiurea, termasuk ulser kaki, yang sangat menimbulkan masalah.

Pengobatan Kombinasi
Pengobatan kombinasi bisa meningkatkan efikasi dan mengurangi efek samping, dan dengan demikian bisa menghasilkan perbaikan yang lebih substansial, atau, bisa memungkinkan pengurangan dosis untuk mencapai perbaikan sama sebagaimana dibandingkan dengan monoterapi. Data tentang kombinasi biologis dengan agen-agen sistemik atau topikal belum tersedia secara umum, tetapi beberapa kombinasi yang umum digunakan dalam pengobatan arthritida inflamatori, seperti kombinasi MTX dan agen anti-TNF, bisa sesuai untuk pengobatan penyakit psoriatik yang membandel.

Pengobatan-Pengobatan Biologis
Berdasarkan kemajuan kontinyu dalam penelitian psoriasis dan kemajuan dalam bidang biologi molekuler, golongan-golongan agen yang baru –terapi biologis yang ditargetkan – telah ditemukan. Agen-agen ini dirancang untuk merintangi tahapan-tahapan molekuler tertentu yang penting dalam patogenesis psoriasis atau telah ditransfer ke arena psoriasis setelah dikembangkan untuk penyakit inflammatory lainnya. Saat ini, tiga tipe terapi biologis telah disetujui yaitu (1) sitokin manusia rekombinan, (2) protein fusi, dan (3) antibodi monoklonal. Karena risiko terjadinya antibodi-antibodi terhadap mouse sequences, maka antibodi manusia lebih dipilih untuk penggunaan klinis.
Dengan menggunakan hasil efikasi dan keamanan yang telah diakui secara internasional, pemanfaatan keseluruhan dan manfaat biologi telah ditunjukkan berdasarkan persentase pasien yang mencapai sekurang-kurangnya 50% perbaikan dalam hal PASI (PASI-50), perbaikan nilai PASI 75% (PASI-75), dampak pengobatan terhadap kualitas hidup, dan keamanan dan daya toleransi. Secara umum, agen-agen ini memiliki aktivitas antipsoriatik yang secara kasar sebanding dengan MTX dan kurangnya risiko hepatotoksisitasnya. Akan tetapi, obat-obat ini lebih mahal, memiliki risiko imunosupresi, reaksi infusi, dan pembentukan antibodi, dan keamanannya jangka panjangnya masih perlu dievaluasi. Menurut pada peneliti ini, penggunaan agen-agen biologis harus dipersiapkan untuk pengobatan psoriasis parah yang tidak merespon terhadap MTX atau pada pasien yang penggunaan MTX dikontaindikasikan.
Alefacept. Alefacept merupakan sebuah antigen protein fusi yang terkait fungsi limfosit manusia yang dirancang untuk mencegah interaksi antara LFA-3 dan CD2. Sinyal LFA-3-CD2 memegang peranan penting akan aktivasi sel-sel T. Bagian LFA-3 dari alefacept terikat ke reseptor CD2 pada sel-sel T, sehingga menghambat interaksi antara LFA-3 dan CD2, sehingga mengganggu aktivasi sel-sel T, menimbulkan apoptosis dan memodifikasi proses inflamasi. CD2 diupregulasi sel-sel T efektor memori, yang menjelaskan penipisan sel-sel ini oleh alefacept. Sekitar sepertiga hingga setengah pasien tidak merespon terhadap alefacept, alasan untuk hal ini tetap masih belum jelas. Akan tetapi, bukti menunjukkan bahwa pemberian alefacept secara berulang mengarah pada respons yang membaik, dan respons terhadap alefacept dapat tahan lama.
Efalizumab. Efalizumab (anti-CD11a) merupakan sebuah antibodi monoklonal humanized yang dibuat untuk pengobatan psoriasis plak. Antibodi ini diarahkan terhadap CD11a, subunit α dari LFA-1, sehingga memblokir interaksi LFA-1 dengan molekul adhesi interseluler logannya (molekul 1). Perintangan ini menghambat aktivasi sel-T, lalu lintas sel T kutaneous, dan adhesi sel T ke keratinosit. Beberapa pasien telah menunjukkan bukti perburukan penyakit pada akhir periode pemberian dosis. Penelitian-penelitian masih sementara mengevaluasi keamanan dan ketoleranan pengobatan jangka panjang dengan efalizumab.
Antagonis Faktor Nekrosis Tumor-α. Pengaplikasian klinis antagonis TNF dalam penyakit-penyakit inflammatory telah sangat banyak dalam klinik dengan cara yang mirip dengan penemuan aktivitas kortikosteroid. TNF-α merupakan sebuah protein homotrimetri yang terdapat dalam bentuk transmembran dan bentuk terlarut, bentuk yang terakhir ini dihasilkan oleh pembelahan dan pelepasan proteolitik. Masih belum jelas bentuk mana yang lebih penting dalam memperantarai aktivitas-aktivitas pro-inflammatory-nya atau arti penting relatif dari reseptor-reseptor pengikat TNF-α p75-kd dan p55-kd.
Saat ini, ketiga terapi biologis anti-TNF ini tersedia di Amerika Serikat. Infliksimab merupakan sebuah antibodi monoklonal chimerik yang memiliki spesifitas, afinitas, dan aviditas tinggi untuk TNF-α. Sebuah contoh hasil pengobatan yang sangat baik dengan infliksimab ditujukkan pada Gbr. 18-17. Etanersep merupakan sebuah protein fusi reseptor-FcIgG TNF-α yang dapat larut dan merupakan rekombinan manusia ,yang mengikat TNF-α dan menetralisir aktivitasnya. Adalimumab merupakan antibodi monoklonal IgG1 rekombinan manusia pertama dan secara spesifik menargetkan TNF-α. Saat ini, infliksimab dan adalimumab merupakan satu-satunya yang disetujui oleh FDA untuk arthritis psoriatik. Akan tetapi, trial-trial klinis telah menunjukkan bahwa masing-masing dari agen ini ditolerir dengan baik dan tampak cocok untuk penggunaan jangka panjang pada psoriasis plak kronis. Akan tetapi, seperti semua terapi biologis yang ditargetkan, mereka memiliki risiko imunosupresi, dan keamanan jangka panjangnya masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Penelitian-penelitian klinis telah menemukan infliksimab dan adalimumab sebagai obat yang sedikit lebih efektif dibanding etanersep dalam pengobatan psoriasis. Ada kemungkinan bahwa efek-efek banding dari agen-agen ini terkait dengan selektivitas dalam hal kemampuannya untuk mengganggu interaksi-interaksi ligan reseptor ini. Telah diketahui bahwa infliksimab, adalimumab, dan etanersep mengikat TNF secara berbeda; infliksimab dan adalimumab terikat ke TNF yang terlarut dan terikat membran, sedangkan etanersep terikat utama ke TNF yang dapat larut. Pengikatan ke TNF yang terikat membran bisa menginduksi peningkatan dependen dosis pada sel-sel T, tetapi relevansi mekanisme ini pada psoriasis belum dievaluasi.
Anti-interleukin 12/Interleukin 23 p40. Sebuah agen baru-baru ini telah dibuat dan diuji untuk pengobatan psoriasis plak kronis dan telah terbukti memiliki efikasi yang menjanjikan pada trial-trial fase I. Agen ini merupakan sebuah antibodi monoklonal k IgG1 yang terikat ke subunit p450 yang umum dari IL-12 dan IL-23 manusia dan mencegah interaksinya dengan reseptornya. Disamping merintangi IL-12, yang penting untuk diferensiasi Th1 dari sel T, perintangan IL-23 bisa lebih penting dalam pengobatan psoriasis plak kronis, karena sitokin ini mendukung inflamasi kronis dengan menjaga sebuah sub-set sel-T CD4+ terpisah yang dikarakterisasi oleh produksi IL-17. Sebuah trial fase I yang menguji berbagai pengobatan benar-benar menunjukkan korelasi yang jelas antara dosis anti-IL-12 p40 dan proporsi subjek yang mencapai sekurang-kurangnya 75 persen perbaikan skor PASI. Berbagai obat baru sedang menjalani trial klinis untuk pengobatan psoriasis sebagaimana disebutkan dalam sebuah review komprehensif.



- = kontaindikasi terapi kombinasi; ± = kejadian insufisensi; + = kombinasi yang direkomendasikan; ++ = kombinasi yang sangat dianjurkan.


Pengobatan pada wanita hamil
- Harus berhati-hati untuk mengobati psoriasis pada wanita hamil
- Pengobatan seperti MTX dan retinoid oral harus dihindarkan atau digunakan dengan pengawasan ketat dan boleh digunakan dengan kontrasepsi.
- Pada kasus tertentu, isotretinoin lebih dipilih dibanding asitetrin karena waktu paruh yang lebih singkat.
- MTX bersifat fetotoksisitas dan dapat menimbulkan aborsi, retinoid merupakan agen poten teratotoksin, retinoid merupakan kontraindikasi absolut pada kehamilan.
- Banyak penderita wanita mengalami perbaikan atau remisis selama kehamilan.
- Bila diperlukan terapi pada wanita hamil, maka emolien dan agen topikal lain adalah terapi lini pertama, walaupun dapat digunakan bersamaan dengan UVB fototerapi.
- Banyak terapi ropikal, seperti topikal steroid dan kalsikotrien merupakan kategori C, dan harus dilakukan pengawasan selama terapi diberikan.
- Beberapa terapi biologik merupakan kategori B dan dapat digunakan selama kehamilan. Seperti halnya juga, siklosporin A dapat dipertimbangkan, walaupun termasuk kategori C dan bersifat nonteratogenik.
- Sistemik psoralen dan UVA terapi dapat digunakan pada terapi tertentu dan kelihatannya aman untuk digunakan.

Pengobatan pada anak-anak
- Psoriasis umum terdapat pada anak-anak dan usia remaja.
- Untuk dewasa, pengobatan lini pertama adalah dengan agen topikal, psoralen dan UVA merupakan kontraindikasi pada anak-anak.
- Dikarenakan resiko karsinogenik dan kemungkinan penggunaan jangka panjang, psoralen dan UVA dikontraindikasikan pada anaka-anak.
- Keputusan untuk menggunakan terapi sistemik harus dipikirkan dengan hati-hati, karena efek simpang jangka panjang masih belum diketahui. Bagaimana pun juga, agen sistemik digunakan dengan sukses pada kasus rekalsitran berat.


PENCEGAHAN
Belum ada pencegahan yang diketahui untuk psoriasis.